Jejak Warisan Kesultanan serdang
angahalfa.blogspot.com
Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas akhir semester genap program Studi Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara tahun ajaran 2017/2018
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya ucapkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ilmiah tentang JEJAK WARISAN
KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR. Makalah ini berisi tentang merangkumi kebudayaan
KESULTANAN SERDANG dan zaman kegemilangannya serta kejatuhan kerajaannya.
Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, saya
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar saya
dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir
kata saya berharap semoga
makalah ilmiah tentang JEJAK WARISAN
KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca
dalam melestarikan nilai-nilai budaya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................. .......................................................................................ii
DAFTAR ISI................................ ........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 LATAR
BELAKANG.................................................................................................1
1.2 RUMUSAN
MAKALAH............................................................................................2
1.3 TUJUAN
MAKALAH................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................3
2.1
SEJARAH KESULTANAN
SERDANG...................................................................3
2.2 LATAR
BELAKANG MASYARAKAT MELAYU SERDANG...........................11
2.3 SISTEM
POLITIK KERAJAAN
SERDANG..........................................................11
2.4 SISTEM
SOSIAL KESULTANAN
SERDANG.....................................................16
2.5 SISTEM
EKONOMI KESULTANAN SERDANG................................................18
2.6 SISTEM
KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU SERDANG..................20
2.7 ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI MELAYU SERDANG..................22
2.8 MASA
KEEMASAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN SERDANG.................24
2.9
PENINGGALAN KESULTANAN SERDANG......................................................27
BAB III PENUTUP............................................................................................................29
3.1
KESIMPULAN.........................................................................................................29
3.2
SARAN.....................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31
LAMPIRAN.......................................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Sebagai
masyarakat Indonesia, kita harus mengetahui budaya yang ada di Negara kita.
Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal dan mengetahui
hal itu masyarakat
Indonesia akan lebih mengerti kepribadian suku lain, sehingga tidak menimbulkan
perpecahan maupun perseturuan. Pengetahuan tentang kebudayaan itu juga akan
memperkuat rasa nasionalisme kita sebagai keluarga yang baik.
Selain
hal – hal di atas kita juga dapat mengetahi berbagai kebudayaan di Indonesia,
misalnya kebudayaan melayu yang mengalami akulturasi. Karena proses akultrasi
yang terjadi tampak simpang siur dan setengah – setengah. Contoh perubahan hidup
pada masyrakat Indonesia yang kebarat – baratan yang seolah – olah sedikit demi
sedikit mulai mengikis budaya adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa
masyarakat yang kolot dan hampir tidak memperdulikan
perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli
mereka.
Karena
latar belakang di atas saya
menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan Indonesia, yaitu masyarakat melayu. Makalah
ini memberikan wawasan tentang JEJAK
WARISAN KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR khususnya daerah SERDANG.
Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah kabupaten di
Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kabupaten ini berada di Lubuk Pakam.
Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/kota
di provinsi Sumatera Utara. Sebagian besar wilayah kota medan adalah “tanah
deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Deli Serdang yang
dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan ( Kesultanan)
yaitu Deli yang berpusat di kota Medan dan Kesultanan Serdang berpusat di
Perbaungan sekitar 38 km dari kota Medan menuju kota Tebing Tinggi.
1.2
Rumusan
makalah
1 Bagaimana sejarah kesultanan Serdang
2
Apa yang menjadi
latar belakang masyarakat melayu Serdang
3
Bagaimana sistem
politik Melayu Serdang
4
Bagaimana sistem
sosial masyarakat Melayu Serdang
5
Bagaimana
sistem ekonomi masyarakat Melayu Serdang
6
Bagaimana sistem
kepercayaan masyarakat Melayu Serdang
7
Bagaimana ilmu
pengetahuan dan teknologi Melayu Serdang
8
Bagaimana masa
keemasan dan keruntuhan Melayu Serdang
9
Bagaimana
peninggalan pada masyarakat Melayu Serdang
1.3
Tujuan
makalah
1.
Untuk mengetahui
sejarah kesultanan Serdang
2. Untuk mengetahui latar belakang masyarakat melayu Serdang
3. Untuk mengetahui sistem politik Melayu Serdang
4. Untuk mengetahui sosial masyarakat Melayu Serdang
5. Untuk mengetahui ekonomi masyarakat Melayu Serdang
6. Untuk mengetahui kepercayaan masyarakat Melayu Serdang
7. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi Melayu
Serdang
8. Untuk mengetahui masa keemasan dan keruntuhan Melayu
serdang
9. Untuk mengetahui peninggalan pada masyarakat Melayu
Serdang
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kerajaan Serdang
Nama “Serdang” berasal daripada nama pohon serdang, yang
daunnya dapat dijadikan atap rumah. Pada tahun 1720, terjadi perebutan tahta
kerajaan Deli antara anak Tuanku Panglima Paderap. Tuanku Umar Johan Pahlawan
Alam Syah bergelar kejuruan junjungan tidak berjaya merebut haknya ke atas
tahta Deli selaku putera gahara dalam perebutan kuasa dengan saudaranya
Panglima Gandar wahid. Tuanku Umar dan bondanya Tuanku Puan Sampali berpindah
dari Sampali dan mendirikan kampung besar ( Serdang ) pada sekitar tahun 1723.
Tuanku Umar mempunyai tiga orang anak, iaitu Tuanku
Malim, Tuanku Ainan Johan Alam Syah dan Tuanku Sabjana. Apabila Tuanku Umar
mangkat, anaknya Tuanku Ainan Johan Alam Syah ditabalkan menjadi raja Tuan,
Batang Kuis, Perbauangan dan Tanjung Morawa. Baginda juga mengantar angkatan
tentara Ke Langkat untuk menakluki punggai. Puteranya yang sulung, Tuanku
Zainal Abidin telah terbunuh bersama-sama empat puluh orang panglima Serdang
dalam satu pertempuran di punggai pada tahun 1816, yang kemudian dikenali
dengan nama “ Marhum Mangkat di Punggai “.
Dalam tahun 1790-1850, Serdang diperintah oleh Sultan
Thaf Sinar Besar Syah atau lebih dikenali Sultan Besar. Di bawah pemerintahan
baginda, Serdang dalam kemakmuran. Perdagangan dengan Pulau Pinang dan Malaka
juga daerah-daerah lain sangat maju. Wilayah kerajaan bertambah hingga ke
Serbajadi, Percut, Dolok (bekas kerajaan Timur Raya), Padang, Bedagai dan
Senembah, bahkan pengaruhnya sampai ke Alas dan Singkel. Serdang juga
mengadakan hubungan yang erat dengan Aceh dan Siak. Baginda dibantu oleh
beberapa orang pembesarnya seperti pangeran muda Seri Diraja Mattakir sebagai
Raja Muda, Tuanku Ali Usman (bergelar panglima besar Negeri Serdang di sungai
Tuan), Tuanku Tunggal bergelar Seri Maharaja di kampung durian, dan Datuk
Akhirullah bergelar pakerma Raja Tanjung Morawa. Pada tahun 1838, Sultan besar
ini juga pernah membantu Sultan Kedah, Sultan Tajuddin Halim Syah II
membebaskan Kedah dari pada kerajaan Siam.
Baginda mengutuskan putranya, Tengku Abdullah, dan
anak saudaranya Tengku Mohd Said ke kedah. Dalam zaman pemerintahan sultan
besar ini, Serdang berada dalam keadaan tenteram dan makmur.
Serdang juga di kenali di negeri-negeri lain hingga di
semenanjung Tanah Melayu. Banyak daerah yang meminta perlindungan atas kekuatan
bela tentaranya, antaranya padang, Bedagai, dan Senembah. Dalam salah satu naskah
perjanjian yang tersimpan di istana Serdang ( telah terbakar pada zaman
revolusi), tercatat “Pernyataan Bersama” antara sultan Besar ini dengan Sultan
Panglima Mangedar Alam dari Deli yang berbunyi :
1.
Kedua-dua
kerajaan ini berdaulat, merdeka dan berdiri sendiri
2.
Cukai pelabuhan
Labuhan Deli dibagi dua antara Serdang dan Deli.
Setelah mangkat Baginda digelar “Marhum Kaca Puri” dan
dimakamkan di kampung besar Serdang. Almarhum digantikan oleh puteranya yang
sulung, Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Syah (1809-1880). Sultan Basyaruddin
ini berkahwin dengan Tuanku Puan Zahra, putri Sultan Rachmad Syah, raja
perbaungan ke-4. Zaman pemerintahan baginda dipenuhi dengan peperangan untuk
meluaskan jajahan terutama menentang Deli untuk merebut Percut, Denai, Senembah,
Padang dan Bedagai. Dalam menghadapi pengaruh Belanda yang semakin kuat
menanamkan pengaruhnya di pantai timur sumatera, baginda diberi gelar wazir
oleh Sultan Aceh.
Kesultanan
Serdang pada Masa Kolonial
Pemerintahan
Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan
Junjongan berlangsung selama 44 tahun sampai dengan tahun 1767 M. Tuanku Umar
Johan memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan
Alamshah, dan Tuanku Sabjana (Pangeran Kampung Kelambir). Oleh karena Tuanku
Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang
kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar
Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamshah (1767-1817).
Sultan Ainan
Johan Alamshah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam, putri dari Kerajaan
Perbaungan. Wilayah Kerajaan Perbaungan sendiri kemudian bergabung dengan
Kesultanan Serdang. Perkawinan Sultan Ainan Johan Alamshah dikaruniai beberapa
orang anak, namun anak pertama yang seharusnya menjadi putra mahkota, yakni
Tuanku Zainal Abidin, gugur dalam suatu peperangan yang terjadi di Langkat.
Sebagai pengganti, ditunjuklah putra kedua Sultan Ainan Johan Alamshah yang
bernama Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (1817-1850), sebagai penerus tahta Kesultanan
Serdang.
Pada masa
pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah, yang juga dikenal dengan gelar Sultan
Besar Serdang, Kesultanan Serdang mengalami masa-masa kejayaan. Serdang menjadi
kesultanan yang makmur karena kemajuan sektor perdagangannya. Nama Kesultanan
Serdang dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak
kerajaan-kerajaan lain yang meminta bantuan pertahanan dan keamanan dari
Kesultanan Serdang.
Pengganti
Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan
Basyaruddin Shariful Alamshah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin
Shariful Alamshah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh Darussalam, yakni Sultan
Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan. Ketika pada tahun
1854 Kesultanan Aceh Darussalam mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu
perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh.
Dalam
menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah didampingi
oleh Orang-orang Besar, wazir, dan raja-raja taklukkan. Namun, era pemerintahan
Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah diwarnai banyak pertikaian, baik internal
maupun eksternal. Selain berkonflik dengan Kesultanan Deli dalam persoalan
perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi hegemoni dari Belanda yang datang ke
Serdang pada tahun 1862. Melalui Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862,
Kesultanan Serdang akhirnya terpaksa takluk kepada Belanda yang semakin
menekan.
Ketika
Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah wafat pada tanggal 7 Muharram 1279 Hijriah
(Desember 1880), sang putra mahkota, Sulaiman Shariful Alamshah, masih sangat
muda sehingga pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada
Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Shariful Alamshah). Setelah dinilai
sudah cukup umur, Sulaiman Shariful Alamshah diangkat sebagai pemimpin
Kesultanan Serdang dan mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda tertanggal 29 Januari 1887.
Di bawah
kepemimpinan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah, Kesultanan Serdang melakukan
beberapa tindakan strategis untuk menangkal semakin kuatnya pengaruh penjajah
Belanda. Salah satu gerakan penting Sultan Sulaiman Shariful Alamshah adalah
ketika pada tahun 1891 terjadi perlawanan terhadap Belanda ketika Kontrolir
Serdang (wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda) memindahkan ibukota
Serdang dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam.
Sebagai
bentuk perlawanan, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menolak ikut pindah ke
ibukota baru pilihan penjajah, dan sebaliknya justru membangun istana baru,
yakni Istana Perbaungan (Keraton Kota Galuh), pada tahun 1886. Selain itu,
Sultan Sulaiman Shariful Alamshah juga membangun Masjid Raya Sulaimaniyah,
kedai, pasar ikan, dan kompleks pertokoan sehingga berdirilah sebuah kota kecil
yang diberi nama Simpang Tiga Perbaungan. Kota inilah yang dijadikan Sultan
Sulaiman Shariful Alamshah sebagai tandingan ibukota Serdang versi pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
Selanjutnya,
pada tahun 1898 Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menolak menghadap pemerintah
kolonial Hindia Belanda di Batavia, beliau tidak bersedia juga menghadap Ratu
Kerajaan Belanda. Alih-alih menuruti permintaan itu, pada waktu yang sama,
Sultan Sulaiman Shariful Alamshah malah mengunjungi Jepang dan Tiongkok. Aksi
“pembangkangan” ini menjadi bukti nyata bahwa Kesultanan Serdang berani melawan
arogansi Belanda.
Dalam
kunjungannya ke Jepang, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dijamu secara pribadi
oleh Tenno Heika Kaisar Meijimutshuhito. Namun, di pihak lain, Belanda
memanfaatkan kepergian Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dengan mempersempit
batas wilayah Kesultanan Serdang. Kesewenang-wenangan Belanda ini menyebabkan
perubahan dalam susunan Orang-orang Besar di mana Belanda menghapuskan beberapa
posisi pemerintahan, termasuk Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.
Kesultanan Serdang pada Era Kemerdekaan RI
Periode
pemerintahan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah berlangsung cukup lama yakni
dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga
pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya, pada bulan Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah
pimpinan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menyatakan dukungan terhadap
berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.
Memasuki
tahun 1946, wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang
mencekam. Pada tanggal 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang
dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap
raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang berideologi kiri. Raja-raja
dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu
“mengabdi” kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Di Serdang,
keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Kesultanan Serdang luput
dari pembantaian karena adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman
Shariful Alamshah terhadap kaum pergerakan. Selain itu, perasaan anti Belanda
Sulaiman Shariful Alamshah telah dikenal sejak zaman kolonial. Sokongan penuh
Kesultanan Serdang terhadap berdirinya NKRI semakin memperkuat bahwa Sulaiman
Shariful Alamshah berada di pihak Republik Indonesia.
Sultan
Sulaiman Shariful Alamshah juga menganjurkan kepada para kerabat dan kaum
bangsawan Kesultanan Serdang untuk menempati posisi dalam struktur angkatan
bersenjata Republik Indonesia serta organisasi-organisasi politik yang
berhaluan Islam maupun nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi
Sosial” tanggal 3 Maret 1946, diadakan perundingan antara Kapten Tengku Nurdin
(Komandan Batalion III Tentara Republik Indonesia di Medan) dengan Tengku
Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu
kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah
Republik Indonesia,
Keesokan
harinya, tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera
Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan
administrasi pemerintahan kepada pihak TRI yang mewakili pemerintah Republik
Indonesia. Pertemuan ini dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah
Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik
lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Peristiwa pada 4 Maret 1946 ke
segenap pelosok wilayah Serdang itu menjadi sebuah momen unik yang berlaku
untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat itulah, Kesultanan Serdang
meleburkan diri sebagai bagian dari NKRI sebagai wujud komitmennya terhadap
berdirinya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Pada 13
Oktober 1946, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah meninggal dunia dalam usia 80
tahun dan dikebumikan dengan upacara militer di makam raja-raja di sebelah
Masjid Raya Perbaungan. Sebagai pewaris tahta Kesultanan Serdang selanjutnya
adalah Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi
politik dan keamanan yang belum stabil, maka Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih
Anwar hanya dinobatkan sebagai kepala adat, bukan sebagai Sultan Serdang.
Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai
Sultan karena masih trauma dengan serentetan kejadian tragis dalam “Revolusi
Sosial” pada awal tahun 1946 itu.
Tengku
Putera Mahkota Rajih Anwar wafat di Medan pada 28 Desember 1960 dan dimakamkan
di Perbaungan. Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar, masyarakat
adat Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat dan posisi ini mengalami
kekosongan selama lebih kurang 35 tahun. Hingga akhirnya, pada tanggal 30
November 1996, Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang dan memutuskan
bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih serta ditetapkan dari putra-putra almarhum
Sultan Sulaiman Shariful Alamshah yang masih hidup.
Dari
sidang-sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam
Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dan pemegang mahkota
Kesultanan Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan
Ketua Kerapatan Adat Negeri Serdang. Penabalannya dilakukan dalam upacara adat
di Gedong Juang 45 di Perbaungan pada 5 Januari 1997.
Kebangkitan
Kesultanan Serdang ternyata tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik
negara. Institusi kesultanan semata-mata hanya dilihat dari perspektif politik.
Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku
budaya dan adat masyarakatnya. Dampaknya, aktivitas kesultanan pun dibatasi
hanya sebagai institusi istiadat semata.
Tuanku
Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj mangkat pada tanggal 28 Januari 2001 karena
sakit dan dikebumikan di Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Perbaungan.
Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj diberangkatkan pada
tengah malam tanggal 28 Januari 2001, terlebih dulu diadakan musyawarah sesuai
dengan adat “Raja Mangkat Raja Menanam” untuk menentukan siapa pewaris adat
Kesultanan Serdang.
Dalam
musyawarah itu, anggota sidang menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar Baharshah
II (waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) ditetapkan sebagai
Pemangku Adat Serdang yang selanjutnya. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar
Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke-VIII
digelar pada tanggal 12 Juni 2002 di Perbaungan. Upacara ini dihadiri oleh
6.000 orang utusan dari seluruh wilayah Serdang dan 2.000 orang undangan dari
pemerintah RI serta dari 4 negara.
Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, perubahan luas
wilayah kesultanan Serdang dari zaman ke zaman diperoleh melalui beberapa cara,
diantaranya dengan jalan penaklukan, kekerabatan (ikatan perkawinan) atau
penggabungan wilayah oleh kerajaan-kerajaan kecil ke wilayah Kesultanan
Serdang. Sejak awal berdirinya, wilayah Kesultanan Serdang beberapa kali
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial
politik yang terjadi. Semasa era kolonial Hindia Belanda, Kesultanan Serdang di
masukkan ke dalam Residensi Sumatera Timur bersama sejumlah kerajaan lainnya,
antara lain: Kerajaan Asahan, Kerajaan Deli, Kerajaan Kualuh dan Leinong,
Kerajaan Langkat, Kerajaan Pelalawan serta Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan dilanjutkan
dengan pengakuan kedaulatan tahun 1949 terjadi perubahan lagi. Kesultanan
Serdang yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatera Timur, sejak tahun 1950
dilebur menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara hingga sampai saat ini.
Berdasarkan data yang ditemukan dari beberapa sumber,
daerah-daerah yang pernah dan masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan
Serdang, antara lain: Percut, Perbaungan, Sungai Ular, Sungai Serdang, Padang,
Bedagai, Sinembah, Batak Timur, Negeri Dolok, Batu bara(lima laras), Serbajadi,
Denai, Patumbak, Rantau panjang, Bandar Labuhan,
Lengo
Seperang/kuala namu, Pantai Cermin, Pertumbukan/galang, Medan Sinembah, Tambak
Cikur, hinga Lubuk Pakam.
Kesultanan Serdang mempunyai istana yang terletak di
Desa Galuh, Perbaungan. Namun pada saat ini istana tersebut sudah tidak ada
lagi dikarenakan di bakar Oleh pihak Belanda. Pihak kerajaan tidak mau
mendukung Belanda di masa penjajahan sehingga mereka marah dan membakar istana
kerajaan. Tanah yang dulunya berdiri sebuah istana kerajaan sekarang sudah
berubah menjadi perumahan dan perkuburan.
![Hasil gambar untuk istana serdang](https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/63/Istana%2Bsultan%2Bserdang.jpg/300px-Istana%2Bsultan%2Bserdang.jpg)
(istana serdang zaman
dahulu)
Namun
sekarang Serdang mempunyai Reflika Istana yang terletak di jalan lintasan
Sumatera, Medan-tebing Tinggi nomor 42 Kelurahan Tualang, kec.perbaungan yang
merupakan tiruan dari bangunan Istana Sultan Serdang yang dulu ada di Desa
Galuh, Perbaungan. Bangunan replika ini diprakarsai oleh Sultan Serdang
Allahyarham Tuanku Luckman Sinar Basarshah II SH dan diresmikan pada 7 januari
2012untuk mengenang kejayaan masa lampau kerajaan tersebut.
Menurutnya, reflika istana dibuat sebagai pembelajaran
dan pengingat sejarah, bahwa dulunya pernah ada kerajaan Serdang. Selain itu,
reflika istana ini diharapkan bisa jadi lokasi pusat pengembangan kebudayaan
dan adat Melayu.
![Hasil gambar untuk istana serdang](https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/0/07/Replika_Istana_Sultan_Serdang.jpg/300px-Replika_Istana_Sultan_Serdang.jpg)
(Reflika istana Serdang)
2.2
Latar Belakang Masyarakat
Melayu Serdang
Suku Melayu Serdang,
adalah suku Melayu yang mendiami wilayah kabupaten Serdang Bedagai di provinsi
Sumatra Utara. Suku Melayu Serdang ini banyak bermukim di wilayah Perbaungan,
Sei Rampah, Bandar Kalipah dan lain-lain tersebar di seluruh kecamatan yang
berada di kabupaten Serdang Bedagai provinsi Sumatra Utara.
Suku Melayu Serdang
berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek Serdang. Bahasa Melayu Serdang,
berbeda dengan bahasa Melayu Deli dalam hal dialek, tapi hampir sama dengan
bahasa Melayu Langkat yang menggunakan dialek "e".
Melayu yang ada
di Kesultanan dari dulunya sampai sekarang mempunyai marga, diantara marga yang
ada antara lain : Surbakti, Barus, dan Purba. Sampai sekarang ketiga marga ini
masih digunakan oleh masyarakat serdang.
2.3
Sistem Politik Kerajaan
Serdang
Negara
Kesultanan Serdang menganut sistem pemerintahan Paternalisme; pemerintahan
dengan sistem melalui perantaraan kelas atau elite birokrat istana. Elite
pemerintah istana tersebut digunakan dengan pertimbangan latar belakang
kultur istana yang masih dimilikinya sehingga diharapkan dapat secara efektif
memberikan pengaruh pada efektivitas dan kontrol atas jalannya berbagai
kebijakan dari pemerintah ke seluruh wilayah kekuasaan Negara Kesultanan
Serdang. Pemanfaatan elite politik lokal ke dalam pemerintah
kolonial erat kaitannya dengan tujuan politik untuk tetap menjaga loyalitas
mereka kepada pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa
pemerintahan Sultan serdang yang pertama, yaitu Tuanku umar Johan Alamshah
Gelar kejuruan Junjongan (1723-1767), pemerintahan Kesultanan Serdang masih
dalam kondisi yang tidak menentu karena
banyaknya konflik yang harus dihadapi. Baru pada era Sultan yang kedua, yakni
Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767-1817), Kesultanan Serdang mulai menyusun
konsep untuk mengatur tata pemerintahannya. Salah satu yang terpenting adalah
dengan dibentuknya Lembaga Orang Besar
Berempat di Serdang ( Wazir Sultan), Yaitu:
1. Pangeran Muda, berwilayah di
sungai tuan
2. Datok Maha Menteri,
berwilayah di Araskabu.
3. Datok Paduka Raja,
berwilayah di Batang Kuis
4. Sri Maharaja, berwilayah di
Ramunia
Masa pemerintahannya didirikan kampung-kampung Melayu di kiri-kanan sungai
Serdang sampai ke hulunya yang berbatasan dengan peringgan Senembah. Pada masa
pemerintahannya juga kekuasaan Serdang Meliputi juga Denai, Perbaungan, Percut,
dan ke pedalaman Serdang di wilayah yang dihuni etnis Karo ( Senembah dan
Tg.Muda) dan kewilayah yang dihuni etnis Batak Timur.
Pada tahun 1817 M. Tuanku
Sultan Ainan Johan alam Shah mangkat. Oleh para orang besar dan rakyat ditabalkanlah Tuanku Thaf Sinar selaku
pengganti Raja Serdang dengan gelar Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah.
Masa pemerintahannya serdang
berada dibawah kekuasaan nominal dan
mengakui pemerintahan agung Siak. Serdang meneguhkan benar pemerintahannya
diwilayah Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah serta Batak Timur Dusun.
Sultan Sinar mempunyai
sendiri armada dagangnya berniaga ke Penang yang menjadi pusat inggris di Selat
Malaka. Oleh karena itulah Sultan Sinar membuat perjanjian dengan Inggris
melalui kuasa dagangnya, bernama John Anderson, pada tanggal 18 Jumadil awal
1238 H (1823M). Bahkan menurutnya, karena suasana aman banyak pedagang dari
Barat (Singkel) yang berdagang melalui pelabuhan Serdang. Adapun orang besar
Serdang yang menemani Sultan dan
mengepalai daerah-daerah ialah Tuanku Mattakir (gelar pangeran muda Sri Diraja
sebagai raja muda), Tuanku Ali Usman (kampung Kelambir/sei.Tuan) bergelar
panglima besar Sedang, Tuanku Tunggal di Kampung Durian ( gelar Sri Maharaja)
dan Datuk Akhirullah di Tg.Morawa (gelar Pakerma Raja). Sultan Sinar pernah
juga membantu dengan panglima dan beberapa perajurit kepada Sultan Tajuddin
Halim Shah-II pada tahun 1838M. Untuk membebaskan Kedah dari Kerajaan Siam.
Baginda uga memerintahkan Raja Graha dari Denai untuk menguasai kembali daerah
Pulau Berayan di Sungai Deli yang dahulunya adalah wilayah pusaka Tuanku
Wahidin (kejuruan santun) pada tahun 1823.
Negeri-negri jajahan masa
pemerintahan Sultan Thaf Sinar Shah Serdang :
·
Bedagai, dibawah wakil Suktan Serdang, TUAN GOAH SARAGIH DASALAK dengan
2 orang besarnya yaitu Datuk Penghulu Lela Wangsa dan Datuk Gadang.
·
Padang, dibawah wakil Sultan Serdang, RAJA BIDAR ALAM dan putranya RAJA
MUDA HITAM pada zaman Sultan Basyaruddin, menjadi kepala di Padang ialah
MAHARAJA GRAHA MARAHKUN (wakil sultan serdang). Dia diberhentikan Deli pada
tahun 1866.
Karena
kemakmuran dan kejayaan Kerajaan Serdang masa itu maka Sultan Panglima Mangedar
Alam dari Deli ada membuat surat pengakuan pada tanggal 15 syaban 1242 (1823M)
yang berbunyi :
1. Bahwa Kerajaan Serdang dan
Kerajaan Deli masing-masing berdaulat dan merdeka dan berdiri sendiri.
2. Bahwa cukai Labuhan Deli dibagi
dua diantara Serdang dan Deli dimana Sultan Deli mengakui membayar kepada
Sultan Serdang setiap tahun $.Str.600,-.
Perjanjian Dagang dengan
Inggris berbunyi Sebagai berikut:
Tanda tangan SULTAN BESAR Ditujukan kepada Hon.W.E.Philips,
Dari Serdang Gubernur
inggris di Pulau Pinang
(didahului komplimen yang biasa)
“Beta
telah menerima surat sahabat beta melalui agennya, TUN JOHN ANDERSON, dengan
penuh kegembiraan. Paduka sahabat mengemukakan
dalam surat itu, tentang perdagangan antara serdang dengan Pulau Pinang,
dan menyatakan harapan untuk kemakmuran negeri Beta, dan bertambahnya hubungan
diantara kedua negeri ini. Beta sangat berbesar hati meletakkan dasar
persahabatan dengan paduka sahabat Beta, dan memandang perlu bertambahnya
perdagangan antara pulau pinang dengan negeri Beta, dan Beta tidak merasa perlu
lagi untuk mengadakan perjanjian dagang atau hubungan lainnya dengan negeri
lain. Beta berharap dapat dagangan keluar dari kerajaan ini Beta bersedia
mengirimkannya ke Pulau Pinang.
Mengenai persoalan perdagangan umumnya, Beta telah
berbincang secara bebas dan panjang lebar dengan agen dari pada paduka sahabat
Beta, yaitu Tuan John Anderson, dan menyampaikan kepadanya mengenai berbagai
jenis barang dagangan yang diperlukan untuk negeri ini dan dengan memperhatikan
akan pajak cukai Negeri Beta.
Tertanggal 18 Jumadil Awal 1238 H, hari jumat (1823 M).
Sultan Thaf Sinar Basar Shah atau lebih popular dengan nama “Sultan
Besar”, mangkat pada tahun 1850M. Dan dimakamkan di “Makam
Diraja Serdang”di desa Masjid Kec.Batangkuis Kab.Deli Serdang.
Baginda setelah mangkat diberi gelar juga “Mahrom Besar”,
dan meninggalkan putera : Tuanku Basyaruddin, Tengku Mustafa, Tan Siddik
(Tamenggong) dan Tengku H.Mat Yasin (pangeran mangku Negara kepala daerah Batak
Timur. Permaisuri Baginda adalah Tuanku Puan Sri Indera Kuala binti Raja
Perbaungan juga.
Pemimpin Serdang yang selanjutnya, Sultan Basyaruddin
Shariful Alamshah (1819-1880), mengalami masa-masa dimana eksistensi Kesultanan
Serdang mulai terusik oleh kedatangan penjajah Belanda. Dalam menghadapi
pengaruh Belanda yang semakin kuat di pantai Timur Sumatera, Kesultanan Serdang
dibawah komando Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah berdiri di belakang
Kesultanan Aceh Darussalam yang memang gencar melakukan perlawanan terhadap
hegemoni penjajah. Atas dukungan tersebut, pada 1854 Sultan Aceh Darussalam
berkenan menganugerahi gelar kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah
sebagai wazir Sultan Aceh dengan simbol kekuasaan yang disebut Mahor Cap
sembilan.
Seperti para pendahulunya, dalam menjalankan
pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah juga didampingi orang-orang besar dan Wazir
serta raja-raja dari wilayah orang berhasil ditaklukkan Serdang. Akan tetapi,
konflik yang berkepanjangan mengakibatkan sering terjadinya pergantian
orang-orang besar dan para Wazir serta raja-raja dari wilayah taklukan
Kesultanan Serdang tersebut.
Di luar dewan kerajaan yang terdiri dari orang-orang
besar pilihan Sultan, terdapat lagi lembaga pemerintahan yang mengurus
daerah-daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang. Institusi ini
dikenal dengan nama Lembaga Orang Besar Berlapan yang terdiri dari 8 orang
pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di luar
pusat kerajaan.
Pada masa pemerintintahannya Serdang mencapai puncak
kebesarannya karena baginda dengan kekuatan senjata dan laskarnya telah
menaklukkan wilayah sampai kebatubara (Lima Laras) dan seluruh senembah dan ke
pedalaman kab.Deli Serdang, yaitu wilayah etnis karo dan batak timur sesuai
dengan gelarnya “Sayaiful Alamsyah”(pedang alam). Secara
kebutulan ia bertemu dengan imbangnya yang piawai yaitu Sultan Osman dan
kemudian Raja Muda Sulaiman dari Deli.
Berikut ini adalah nama-nama Sultan yang pernah
memerintah Kesultanan Serdang :
1. Sultan Umar Johan Alamshah
Gelar Kejuruan Junjongan ( 1723-1767)
2. Sultan Ainan Johan Alamshah
(1767-1817)
3. Sultan Thaf Sinar Baharshah
(1817-1850)
4. Sultan Basyaruddin Shariful
Alamshah ( 1819-1880)
5. Sultan Sulaiman Shariful
Alamshah (1866-1946). Selama tahun 1880-1866, pemerintahan Kesultanan Serdang
dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa ( paman putra mahkota) sebagai wali
karena Sulaiman Shariful Alamshah masih sangat belia.
6. Tengku Putera Mahkota Rajih
anwar (1946-1960)
7. Tuanku Abunawar Sinar
Shariful Alam Al-Haj (1997-2001)
8. Tuanku Lucman Sinar
Baharshah II (2001-sekarang), dinobatkan pada tahun 2002.
Bentuk
Pemerintahan Negara Kesultanan Serdang
Bentuk Pemerintahan Negara Kesultanan Serdang merupakan bentuk
pemerintahan Quasi. Bentuk Pemerintahan Quasi di Negara Kesultanan Serdang pada
hakekatnya merupakan bentuk variasi dari bentuk Monarchie
Terbatas dan bentuk pemerintahan Aristokrasi. Hal ini disebabkan situasi
dan kondisi yang berbeda, sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Apabila
dilihat dari kedua bentuk pemerintahan di Negara Kesultanan Serdang; bentuk
pemerintahan quasi yang diterapkan oleh Negara Kesultanan Serdang ini
teraktualisasi
bahwa
Sultan maupun Raja Urung merupakan Kepala Pemerintahan dengan dibantu oleh
Kabinet pimpinan Raja Muda dan Menteri Utama. Tetapi Sultan maupun Raja Urung
juga bertanggung Negara Kesultanan Serdangb kepada Lembaga Orang Besar maupun
Lembaga Harajaan; Lembaga Orang Besar maupun Lembaga Harajaan dapat menjatuhkan
Sultan maupun Raja Urung.
2.4
Sistem Sosial Kesultanan Serdang
Hak penduduk asli Melayu di
pesisir atas tanah dan lautan di Serdang tercermin dari pepatah adat lama zaman
dahulu kala antara lain :
·
”patah rantingnya, minum airnya, nenek moyang kita yang
punya”. Artinya : baik hutan didarat maupun dilaut kepunyaan nenek moyang yang
diwariskan kepada anak cucunya.
·
“sehelai akar puntung, sebatang kayu rebah, sebingkah
tanah terbalik, negeri yang empunya”. Artinya : yang ada di
hutan dan hasilnya kepunyaan komunitas dalam kesatuan territorial hukum adat
yaitu Negeri.
·
“pinang nan gaya, nyiur yang saka, jerat yang panjang,
nenek moyang kami yang empunya”. Artinya : tanah dan hutan serta hasilnya dan
penghuninya kepunyaan warisan nenek moyang turun temurun secara bersama.
Kekerabatan
Melayu
Dalam sistem kekerabatan, orang Serdang lebih dominan menganut sistem
patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk
mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan
muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak,
pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga
perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan
patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Serdang.
Adat Melayu
Menurut Informan Hasanuddun NZ (bahyung),
adat budaya Melayu di Negeri Serdang pada saat ini telah tewrcabik-cabik
keadaannya akibat derasnya arus globalisasi
melanda di Negeri Serdang. Ia juga mengatakan “orang melayu sendiri malu
mempergunakan adatnya sendiri, karena sebagian suku Melayu yang ada menganggap
bahwa adat melayu adalah adat yang ketinggalan zaman, kolot, kuno dan
sebagainya.
Tidak adanya
para orang tua yang mewariskan adat budaya yang tinggi nilai harganya itu
kepada anak cucu, keluarga, dan kerabatnya sehingga mengakibatkan adat Melayu
di tanah Serdang ini hikang terkikiskan zaman. Tidak terlepas pula dengan orang
yang berada di luar Suku Melayu, yang selalu menyudutkan bahkan terkesan
menghalangi keberadaan adat Melayu, dengan tudingan yang tidak beralasan sama
sekali, feodalisme, bahkan katanya mau mendirikan kerajaan kembali”.
Di dalam bukunya, bahyung menuturkan “ada
sebahagian kecil masyarakat yang masih menggunakan adat Nuansa Melayu yaitu
tepung tawar, menggunakan balai dan lainnya. Dahulu banyak hal-hal adat yang sangat indah berlaku
sebelum kenduri perkawinan itu tiba, seperti merisik, meminang, ikat janji dan
tepak sebagai salah satu media komunikasi dalam acara tersebet diatas turut
memegang peran yang penting, diiringi pula dengan pantun-pantun yang cukup
menawan dan menggelitik hari, kemudian sewaktu mengantar mempelai laki-laki
kerumah mempelai wanita, betapa indahnya adat Melayu, seperti ada yang
dikatakan empang batang, empang pintu, empang kipas, tepung tawar, makan nasi
hadap-hadapan, mandi taman dan lain-lain. Bahyung mengatakan sebagian kecil
yang dikemukakannya sudah hilang ditelan zaman”.
Menurut bahyung ada empat faktor yang menyebabkan
terjadinya hal diatas, yaitu :
1.
Malu karena adat Melayu dianggap kolot ketinggalan zaman dan lain-lain.
2.
Tidak adanya kader yang dapat dijadikan telangkai ataupun pembawa acara
adat.
3.
Tidak adanya financial untuk mendukung pelaksanaan ini.
4.
Memang tidak mau sama sekali, dengan berbagai alasan.
Stratifikasi Sosial Masyarakat
Melayu Serdang
Secara struktur fisik dan budaya, suku melayu serdang ini
tidaklah berbeda dengan suku Melayu lainya, seperti suku Melayu Deli, Langkat,
Asahan, Labuhan Batu dan Riau. Karena mereka semua berasal dan berakar dari
satu budaya yang sama, hanya saja karena telah terpisah-pisah, sehingga terjadi
sedikit perbedaan-perbedaan kecil yang tidak terlalu mencolok.
Menurut informan
(bahyung),ia mengatakan “ di Serdang pada saat ini, sulit untuk membedakan mana
suku Melayu dan mana suku batak, karena dikehidupan sehari-harinya suku melayu
sudah tidak lagi menggunakan bahasa Melayu, dan tidak lagi memakai rumah
panggung yang menjadi ciri khasnya, mereka lebih sering menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa mereka dan menggunakan rumah yang modern sebagai tempat
tingalnya. Memang ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan bahasa Melayu
itupun di pinggiran pantai”ujarnya.
2.5
Sistem Ekonomi Kesultanan
Serdang
Mata pencaharian suku
Melayu Serdang adalah sebagian besar sebagai petani, nelayan, selebihnya pedagang, perajin
anyaman tikar, perajin atap rumbia dan perajin keranjang bambu. Mereka juga berdagang pisang sale. Selain itu banyak juga dari mereka yang
menjadi pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah serta menjadi wiraswasta.
Apabila sampai
musim dimana terlihat bintang “sandaran lemang”maka orang-orang melayu
mulai menanam padi turun keladang. Sebelum datang orang Jawa, Banjar, dan
lain-lain, orang Melayu di daerah pantai Serdang menanam padi dengan cara
ladang bukan di sawah. Selain menanam padi, masyarakat serdang juga
bermatapencaharian sebagai nelayan. Ada beberapa cara yang digunakan masyarakat
untuk menangkap ikan, yaitu :
1. Belad
Belad adalah
terbuat dari bambu yang berjerjak-jerjak, dinamakan “bilah”,
ini diletakkan dipintu-pintu air. Apabila air telah surut maka ikan akan masuk
kedalam lubang belad.
2. Ambai
Ambai adalah
jaring yang dipancangkan di laut dengan menggunakan tiang-tiang. Jaringnya
berbentuk seperti kaus kaki sehingga apabila ikan/udang yang masuk tidak bisa
keluar lagi.
3. Jermal
Jermal hampir
sama dengan ambai, tetapi tiang yang digunakan jerma lebih banyak lagi
dibandingkan ambai. Jaring jermal berbentuk seperti tikar terbuat dari rotan
getah yang dijalin dan bertali diikat di empat penjuru. Jika ikan dirasa telah
banyak maka jaring ditarik ke atas pada ketika air laut mulai pasang.
4. Bubu
Berbentuk
seperti kandang yang besarnya 1 kali 3 meter terbuat dari buluh tebal yang
diracip dan dijalin. Mempunyai sebuah pintu masuk untuk ikan tetapi arah ke
dalam pintu masuk ada buluh-buluh tajam sehingga ikan tidak bisa keluar.
Didalam bubu dimasukkan umpan untuk memancing ikan agar mau masuk ke dalam.
ketika
pemerintah Hindia Belanda berhasil menancapkan kekuasaannya atas kerajaan
Negeri Serdang 6 oktober 1965, maka perusahaan Asing terutama perkebunan
tembakau mulai menanam tembakau, kopi, pinang, karet, sehingga banyaklah tanah
yang subur yang tidak dipakai rakyat kampung Melayu di daerah pesisir yang
disewakan kepada perusahaan asing itu, tetapi ketika penduduk kampung
bertambah, maka diperlukan tanah baru untuk bertanam padi dan palawija setiap
tahun. Maka perlulah dibuat oleh kerajaan Serdang peraturan yang melindungi hak
adat masyarakat Melayu itu. Dibuat ketentuan didalam pasal-pasal konsesi bahwa
misalnya tanah perkuburan, pohon dimana lebah madu bersarang, atau tempat yang
dianggap keramat tidak boleh dikuasai oleh pihak perkebunan. Kalau tanah yang
dikonsesikan itu tidak dikerjakan seperti yang diminta dalam waktu tertentu,
maka tanah tersebut dikembalikan kepada kerajaan Serdang, dan terserahlah kepada orang besar
kerajaan sesetempat apakah tanah itu bisa diserahkan kepada kerajaan untuk
dikonsesikan kembali kepada perusahaan lain atau dibuat perumahan rakyat dengan
surat “GRANT SULTAN”.
Perdagangan, Cukai, Industri
kapal, Harga mata uang
Jenis import dan export tidak banyak berbeda dengan yang
ada di Deli, Buluh Cina dan Langkat. Perdagangan nampaknya bertambah maju
dengan pesat karena hempengan-hempengan di sungai Deli, banyak sekali lada
melewati sungai Serdang . Orang batak dari negeri dolok banyak berniaga.
Demikian juga orang-orang Alas dari Singkel (pantai barat Sumatera), dengan
membawa kapur barus, emas dan lainnya, jumlah expot 8000 pikul. Yang laku ialah
import kain-kain buatan Eropah, kain putih, kain-kain untuk tengkulukyang
setiap harinya permintaan bertambah.
Hampir tidak ada konsumsi candu untuk penduduk
Melayu, tetapi banyak di import untuk penduduk dipedalaman.
Cukai import dan export pada saat itu sangat rendah,
berkisar $.1,-per 100 gantang lada,dan $.1,-per orangnya. Untuk menambah
pemasukan, ada penambahan ongkos untuk kampung-kampung besar, kampung Durian,
kampung Klambir untuk lada, padi dan garam. Banyak macam-macam cukai.
Pendapatan seorang Sultan yang diperoleh
dari cukai ini berkisar $.1.200,- tetapi pada saat itu seorang sultan tidak
mengandalkan pendapatan dari cukai ini saja, ia juga melakukan perdagangan
sendiri sehingga mendapatkan pendapatan yang lebih besar.
Kapal-kapal yang digunakan untuk membawa semua dagangan
setiap tahunnya dibuat di Negeri Serdang sendiri. Kapal yang dibuat di Negeri
Serdang biasanya terbuat dari bahan kayu merbau, niri dan bungor. Kayu-kayu ini
lebih kuat dan mudah dibentuk dibandingkan dengan kayu-kayu yang lainnya.
Tuanku Ainan johan Alamshah juga merupakan juga merupakan pedagang yang ulung
dan banyak mempunyai perahu dagang untuk mengangkut ke Penang dan
ketempat-tempat lain.
Kemudian harga mata uang pada saat itu, harga lada $.20,-
per bahar atau sama dengan 100 gantang, bijian seperti jagung $.10,- per 100
gantang, tembakau $.10,-per pikul dan kacang putih dihargai $.8,-.
2.6
Sistem Kepercayaan
Masyarakat Melayu Serdang
Masyarakat suku Melayu
Serdang, hampir seluruhnya memeluk agama Islam, seperti masyarakat Melayu
lainnya yang menjadikan agama Islam sebagai agama Melayu dan agama Adat,
beberapa budaya dan adat-istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam. Tapi
walaupun begitu mereka masih mempercayai berbagai hal takhyul dan hal-hal gaib
serta tempat-tempat keramat yang menurut mereka bisa mempengaruhi kehidupan dan
rejeki mereka.
Salah satu tradisi
budaya suku Melayu Serdang, adalah Tradisi Tepung Tawar. Tradisi ini
terlihat bahwa dahulunya suku Melayu Serdang ini pernah memeluk agama Hindu
atau pernah terlibat dengan budaya Hindu. Tradsi ini sebagai upacara untuk
mengungkapkan rasa syukur akan sesuatu yang mereka dapatkan dengan melaksanakan
upacara yang disebut Tepung Tawar. Tradisi ini dilaksanakan oleh
masyarakat Melayu Serdang sejak abad ke-15 dan dirubah dan disesuaikan
dengan tatacara agama Islam.
Setiap komunitas budaya Melayu memiliki upacara ritual yang
masih dipercayai oleh pemiliknya dan dihubungkan dengan kepercayaan yang besifat
gaib. Kesultanan Serdang juga memiliki kekayaan tradisi yang berupa acara dan
upacara ritual yang merupakan salah satu budaya Melayu yang paling tua. Upacara
ritual masih dilakukan oleh masyarakat Melayu Serdang karena etnis ini
merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Hindu, Budha, dan Islam.
Upacara Jamu Laut
Salah satu dari sekian banyak upacara ritual masyarakat
Melayu Serdang adalah ritual upacara Jamuan
Laut yang merupakan salah
satu jenis upacara tolak bala. Upacara ritual Jamuan Laut dimaksudkan
untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut (jimbalang) yang memang telah dikenal dekat oleh masyarakat Melayu.
Upacara Jamuan Laut ini berasal dari masyarakat Melayu
lama yang terus hidup dan eksis sesuai dengan perkembangan kepercayaan
masyarakat Melayu itu sendiri.
Kepercayaan
atau upacara ini mempunyai asal yang sama dengan asal nenek moyang
bangsa-bangsa di Nusantara yakni dari Asia Belakang Indo-China yang datang
sekitar ratusan tahun yang lalu.
Peran Pawang Laut
Upacara Jamuan
Laut diselenggarakan oleh
kaum nelayan yang mendiami daerah pesisir di tepi pantai sekurang-kurangnya 3
kali dalam setahun. Upacara ini dilakukan jika dirasa laut sudah berkurang
menghasilkan ikan seperti biasanya, atau ketika banyak nelayan yang mengalami
kecelakaan di laut sewaktu mencari ikan. Oleh karena itu, dibuatlah upacara Jamuan Laut dengan memanggil pawang
laut untuk memimpin
upacara tersebut. Beberapa pantangan
itu antara lain adalah sebagai berikut:
- Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan di laut pada tiap-tiap hari Jumat, sejak terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
- Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan di laut pada hari-hari besar Islam, sejak terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
- Dilarang menelusuri muara pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia (setiap 17 Agustus), dari terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
- Dilarang berkelahi di laut dan di sekitar muara.
- Dilarang membanting ikan secara sengaja maupun tidak sengaja.
- Dilarang menjatuhkan atau mengambil ikan dari daun pinang sebagai umpan hak orang lain, sebelum tengah hari.
- Sewaktu penyelenggaraan upacara Jamuan Laut dan sehari sesudahnya tidak diperbolehkan menangkap ikan di laut.
2.7
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Melayu Serdang
Sultan Sulaiman sangat antusiasnya mengenai
pendidikan bukan saja menyekolahkan keluarga sendiri,tetapi juga para gadis
harus lepas dari pingitan dan musti bersekolah. Dalam periode 1930-1933, Sultan
Serdang sudah mendirikan sekolah rakyat (sekolah kerajaan 3 tahun) di: simpang
tiga perbaungan; Galang; Pertumbukan; Rantau Panjang; Tg.morawa; dalu X; Batang
Kuis; Serbajadi; Silindak; Gunung Paribuan; Gunung Meriah; Tiga Juhar; Rambei;
Durian Tinggung; Gunung rintih; Tadakun Rage; Pantai Cermin; Ramunia; Aras
Kabu; Bandar Gugung, Kotarih; Sennah.
Dalam periode 1934-1933 dibuka lagi sekolah
kerajaan di pasar Bengkel, jadi semua ada 19 buah sekolah belum termasuk
dibangunnya sekolah-sekolah kepunyaan perkebunan dan sekolah swasta agama
Islam.
Disamping itu sultan Sulaiman menghendaki agar
kepala daerah haruslah bersekolah dan puteranya yang bakal pengganti harus juga
menempuh pendidikan. Oleh karena itu diberikan prioritas kepada mereka itu
untuk memperoleh pendidikan yang patut ( kalau perlu ke Jawa) yang dibayar dari
kas kerajaan Serdang.
Sultan juga embuka sekolah pertanian dan sekolah
pertukangan dibangun purba dengan menyediakan 1000 bahu tanah dan biaya FI.
10.000,- dan bank “Batak” 14-8-1916 untuk membiayai proyek itu buat putra-putri
daerah batak timur itu. Sultan Sulaiman mendirikan sekolah agama islam menengah
yang dinamakan “Syairus Sulaiman” dimana menjadi guru dan Tuan guru Syekh H.
Zainuddin, Tengku Fachruddin dan lain-lain.
Perobatan Melayu
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sangat peduli
sekali terhadap kesehatan rakyat. Rumah sakit pusat kerajaan Serdang didirikan
di Kota Perbaungan (untuk kawasan Serdang Hilir) dan dikota Galang (untuk
kawasan Serdang Hulu) sejak 1-8-1935. Pada saat itu dibangun juga Purba di
setiap distrik dibuka poliklinik dimana rakyat bisa berobat secara Cuma-Cuma.
Kesultanan Serdang juga menanggung rakyatnya yang kena penyakit kusta di obat
di Lau Simomo atau di Pulau Sicanang yang ongkosnya ditanggung oleh kerajaan.
Selain
dengan perobatan medis, menurut Informan Hasanuddin ( bahyung) masyarakat
Melayu Serdang juga mempunyai perobatan secara tradisional yaitu salah satunya
adalah perobatan dengan menggunakan kunyit. Cara perobatan seperti ini sudah
ada sejak dulu sampai sekarang (ujar bahyung).
Musik dan
Hiburan
Terdapat tiga buah alat musik yang utama pada kesenian Melayu Sumatera
Timur, khususnya di wilayah Kesultanan Serdang, yaitu gendang, rebab (kemudian
diganti dengan biola), dan gong atau tetawak (kemudian diganti dengan bass).
Pada perkembangan selanjutnya, ketiga alat musik utama tersebut mendapatkan
penambahan alat-alat musik lain, seperti beberapa jenis gendang (misalnya
gendang panjang), telempong, kesi (simbal), ceracap, gedombak, gedug, serunai,
gambang, rebana, dan alat musik lainnya.
1.Gendang
Gendang
termasuk ke dalam kelompok alat musik perkusi. Alat musik ini terbuat dari kayu
yang ditutup dengan kulit binatang (selaput atau membran) pada kedua sisinya.
Beberapa kulit binatang yang lazim digunakan sebagai selaput atau membran
gendang adalah kulit kambing, sapi, dan kerbau.
2.Rebab
Merupakan
alat musik kordofon (lute type) yang berfungsi sebagai alat melodi solo.
Rebabrebab dimainkan dengan cara diletakkan di bawah seperti alat musik cello,
sedangkan pemainnya dalam posisi duduk. termasuk dalam kategori alat musik
gesek, seperti biola.
3.Gong atau Tetawak
Pada
awalnya gong digunakan sebagai alat musik perang, pemberi berita jika terjadi
sesuatu (bahaya), dan perangkat upacara adat. Namun dalam perkembangannya,
sekitar abad ke-12, gong telah dijadikan sebagai dimasukkan sebagai salah satu
alat dalam perangkat alat music, seperti gamelan. Gong Melayu Sumatera Timur
terbuat dari gangsa dan berbusut. Mitos yang paling dikenal oleh masyarakat
Melayu adalah larangan untuk melangkahi gong karena dianggap memiliki kekuatan
gaib. Selain itu, pada puntil gong di sebelah dalam biasanya disapukan kapur
sebelum dimainkan.
2.8 Masa
Keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Serdang
a. Zaman Keemasan Kesultanan Serdang
Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan di zaman Sultan
Thaf Sinar Baharshah (1817-1850). Pada masa ini, penerapan Adat Melayu yang
bersendikan Islam sangat dijunjung tinggi. Hasilnya ialah banyak rakyat Batak
Hulu yang memeluk Islam. Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram
dan makmur karena perdagangan yang maju. Nama kesultanan Serdang begitu besar
dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak
kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta
bantuan militer dari Kesultanan Serdang. Ketika utusan Kerajaan Inggrisdi Pulau
Pinang, John Anderson, mengunjungi Serdang tahun1823, ia mencatat:
1. Perdagangan antara Serdang dengan
Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
2. Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
(juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan
ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
3. Industri
rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantaibaratSumatera (orang Alas) yang
melintasi pegunungan BukitBarisanmenjual dagangannya ke luar negeri melalui
Serdang.
4. Baginda
sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan Negeri-negeri yang tunduk kepada
Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
5. Cukai di
Serdang cukup moderat.
b. Zaman Kemerosotan dan Penjajahan
Kesultanan Serdang mulai merosot dibawah Sultan
Basyaruddin Shariful Alamshah (1819-1880), yang ditandai dengan kedatangan
penjajah Belanda. Akibatnya Sultan Serdang terpaksa meminta bantuan Kesultanan
Aceh Darussalam yang terbiasa berperang melawan penjajah. Sebagai balasannya
adalah, pada 1854 Sultan Aceh Darussalam berkenan menganugerahi gelar Wazir
Sultan Aceh kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah yang disebut Mahor Cap
Sembilan. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah
juga didampingi Orang-orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang
berhasil ditaklukkan Serdang.
Selain itu,
terdapat lagi Institusi atau Lembaga Orang Besar Berlapan yang terdiri dari 8
orang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di
luar pusat kerajaan. Namun, akibat konflik yang berkepanjangan mengakibatkan
sering terjadinya pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir serta raja-raja
dari wilayah taklukan Kesultanan Serdang. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin
Shariful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan
wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke
Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan
Serdang kemudian harus takluk dan mengakui kekuasaan Belanda seperti yang
tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.
c. Zaman Keruntuhan
Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat
pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, putra mahkota,
Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan
Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa
(paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful
Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan.Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas. Masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni
dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga
pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946).
Tragedi 3 Maret 1946, terjadi ‚Revolusi Sosial‛ di wilayah Sumatera
Timur. Para loyalis Republik yang pro komunis menuduh Raja-raja dan kaum
bangsawan Sumatera sebagai pengkhianat karena dianggap mengabdi kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selama revolusi sosisal tersebut terjadi
penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis.
Seperti terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di
antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan
beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di
Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara
Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia
(TRI) di Siantar.
Demikian juga di wilayah Batubara
dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta
benda mereka dirampok.Di wilayah kesultanan Serdang keadaan sedikit berbeda.
Berkat dukunganpositif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap
kaumpergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman
kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara
Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan
ataupun pembunuhan terhadap keluarga kesultanan. Akhirnya pada 4 Maret 1946, Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan
kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat itu berakhirlah Kesultanan
Serdang.
2.9
Peninggalan Kesultanan Serdang
Sisa-sisa sejarah
kesultanan Serdang sampai kini masih bisa dilihat di Perbaungan, Serdang
Bedagai, yakni Mesjid Sulaimaniyah. Dulunya masjid ini berada tidak jauh dari
Istana K esultanan
Serdang: Istana Darul Arif di Desa Kota Galuh. Sayangnya istana tersebut kini
tak berbekas. Masjid ini terletak di desa Kota Galuh Kecamatan Perbaungan tepat
di pinggir jalan raya.
![Gambar terkait](https://gpswisataindonesia.files.wordpress.com/2015/02/3cfbf-50396831.jpg?w=640&h=360)
MASJID
SULAIMANIYAH PANTAICERMIN
Dengan nama yang
sama karena didirikan oleh orang yang sama, yakni sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah, Masjid Raya Sulaimaniyah yang terletak di desa Pantai Cermin Kanan
Kecamatan Pantai Cermin didirikan pada tahun 1901 yang berarti berumur 95 tahun
atau lebih dari satu abad. Berbeda dengan Masjid Raya Sulaimaniyah di
Perbaungan, masjid yang berada di Pantai Cermin ini kesannya sebagai bangunan
lama dan bersejarah masih kental terlihat, walaupun sudah banyak juga bagian
masjid yang telah direnovasi.
![Hasil gambar untuk peninggalan serdang](https://gpswisataindonesia.files.wordpress.com/2014/12/376a3-8059c_cover_01-_masjid_sulaimaniyah_di_kec-_pantai_cermin2c_kab-serdang_bedagai.jpg)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah berdiri
dan berkembangnya Kesultanan Serdang (1720-1946) tidak bisa dipisahkan dari
peranan agama Islam yang turut mempengaruhi dan mewarnai era kegemilangannya.
Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang di Kesultanan Serdang meliputi
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Islam
sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah Sultan-sultan yang
memerintah mengadopsi hukum dan syariat Islam ke dalam sistem pemerintahan.
Islam di Kesultanan Serdang yang paling menonjol adalah perpaduan adat Melayu
dengan nilai-nilai Islam. Walaupun unsur-unsur budaya Hindu dan Budha masih
terasa kental. Di zaman Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang berlangsung dari
era kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia
(1946), Islam semakin berkembang dengan pesat. Selain sebagai kepala pemerintahan,
Sultan juga adalah Khalifah Fil Ardi, atau disebut juga dengan Amirul Mukminin
dimana Sultan juga mengangkat alim ulama untuk mengurusi seluk-beluk keagamaan
dengan melantik Qadhi, membentuk Majelis Syar’i yang berfungsi untuk
menjalankan syariat Islam di tengah masyarakat, mendirikan madrasah dan
sekolah.
Selain
mempunyai Sultan-sultan yang berpengaruh, Kesultanan Serdang sejak 1720 sampai
1946, juga melahirkan tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang alim bijaksana.Dengan
bantuan tokoh-tokoh dan alim ulama tersebut sistem pemerintahan dalam Kerajaan
Serdang berjalan dengan baik dan teratur.Keberadaan ulama dan tokoh-tokoh Islam
tersebut turut mewarnai kehidupan masyarakat di Kesultanan Serdang.Adapun
mengapa akhirnyaKesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah
Republik Indonesia pada 1946 yang mengakhiri sejarah Kesultanan Serdang, bertitik tolak dari tumbuhnya gerakan
kebangsaan yang ingin mengakhiri kekuasaan kolonial. Pada awal abad ke-20
banyak lahir organisasi, baik politik maupun sosial yang sarat dengan
muatan kebangsaan. Organisasi ini
berkembang dengan cepat, termasuk di Sumatera Timur wilayah Kesultanan Serdang
berada di dalamnya. Bagi Sultan Sulaiman, pergerakan kebangsaan ini memiliki
andil cukup besar dalam penguatan politik dimana dimensi pembangkangan beliau
makin meluas dan bersinggungan dengan kelompok pergerakan nasional. Tidak heran
kalau kemudian Sultan Serdang yang terakhir, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah,
membaca konstelasi perkembangan yang berubah drastis itu dan bergabung dengan
arus nasionalisme. Kalau tidak, maka ia akan mengalami nasib yang sama
sebagaimana yang dialami Kesultanan dan kaum kerabatnya di daerah-daerah lain.
3.2 Saran
Mungkin inilah
yang dapat saya sajikan dalam penulisan ini meskipun penulisan ini jauh dari
sempurna. Masih banyak kesalahan dari penulisan makalah ini, karena saya adalah
manusia tempat salah dan dosa. Dan saya juga membutuhkan saran/kritik agar bisa
menjadi motivasi bagi saya untuk masa depan yang lebih baik dari pada
sebelumnya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah ini “SEJARAH KEBUDAYAAN MELAYU” Ibu Dra,Mardiah Mawar Kembaren,M.A.ph.D
yang telah memberikan tugas ini demi kebaikan khususnya diri saya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sinar,T.Lukman.2007.Mahkota
Adat Dan Budaya Melayu Serdang. Perbaungan:Kesultanan serdang
A.Hamid,Rogayah. 2006.
Kesultanan Melayu. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa Dan Pustaka
informan:
1. Nama : Hasanuddin NZ (bahyung)
Alamat
: jln Sultan Serdang, Perbaungan
kab.Serdang Bedagai
Tanggal
lahir : 14 September 1942
Umur
: 75 tahun
Pekerjaan
: PNS (pensiunan) pembina teater
swarna production
2. Nama : Syahril
Alamat
: Kota Galuh
Tanggal
Lahir: 14 agustus 1957
Pekerjaan : wiraswasta
Komentar
Posting Komentar