Jejak Warisan Kesultanan serdang

angahalfa.blogspot.com

Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas akhir semester genap program Studi Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara tahun ajaran 2017/2018


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang JEJAK WARISAN KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR. Makalah ini berisi tentang merangkumi kebudayaan KESULTANAN SERDANG dan zaman kegemilangannya serta kejatuhan kerajaannya.
            Makalah ilmiah ini telah
saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah tentang JEJAK WARISAN KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca dalam melestarikan nilai-nilai budaya.
                                                                                                               
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................. .......................................................................................ii              
DAFTAR ISI................................ ........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1                                
1.1  LATAR BELAKANG.................................................................................................1
1.2  RUMUSAN MAKALAH............................................................................................2
1.3  TUJUAN MAKALAH................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................3
      2.1 SEJARAH KESULTANAN SERDANG...................................................................3
      2.2 LATAR BELAKANG MASYARAKAT MELAYU SERDANG...........................11
      2.3 SISTEM POLITIK KERAJAAN SERDANG..........................................................11
      2.4 SISTEM SOSIAL KESULTANAN SERDANG.....................................................16
      2.5 SISTEM EKONOMI KESULTANAN SERDANG................................................18
      2.6 SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU SERDANG..................20
      2.7 ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI MELAYU SERDANG..................22
      2.8 MASA KEEMASAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN SERDANG.................24
      2.9 PENINGGALAN KESULTANAN SERDANG......................................................27
BAB III PENUTUP............................................................................................................29
     3.1 KESIMPULAN.........................................................................................................29
     3.2 SARAN.....................................................................................................................30
     DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31
LAMPIRAN.......................................................................................................................32


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG

Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus mengetahui budaya yang ada di Negara kita. Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal dan mengetahui hal itu masyarakat Indonesia akan lebih mengerti kepribadian suku lain, sehingga tidak menimbulkan perpecahan maupun perseturuan. Pengetahuan tentang kebudayaan itu juga akan memperkuat rasa nasionalisme kita sebagai keluarga yang baik.
Selain hal – hal di atas kita juga dapat mengetahi berbagai kebudayaan di Indonesia, misalnya kebudayaan melayu yang mengalami akulturasi. Karena proses akultrasi yang terjadi tampak simpang siur dan setengah – setengah. Contoh perubahan hidup pada masyrakat Indonesia yang kebarat – baratan yang seolah – olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa masyarakat yang kolot dan hampir tidak memperdulikan perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.
Karena latar belakang di atas saya menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan Indonesia, yaitu masyarakat melayu. Makalah ini memberikan wawasan tentang JEJAK WARISAN KEBUDAYAAN MELAYU SUMATERA TIMUR khususnya daerah SERDANG.
Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kabupaten ini berada di Lubuk Pakam. Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. Sebagian besar wilayah kota medan adalah “tanah deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan ( Kesultanan) yaitu Deli yang berpusat di kota Medan dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan sekitar 38 km dari kota Medan menuju kota Tebing Tinggi.



1.2  Rumusan makalah

1    Bagaimana sejarah kesultanan Serdang
2        Apa yang menjadi latar belakang masyarakat melayu Serdang
3        Bagaimana sistem politik Melayu Serdang
4        Bagaimana sistem sosial masyarakat Melayu Serdang
5         Bagaimana sistem ekonomi masyarakat Melayu Serdang
6        Bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Melayu Serdang
7        Bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi Melayu Serdang
8        Bagaimana masa keemasan dan keruntuhan Melayu Serdang
9        Bagaimana peninggalan pada masyarakat Melayu Serdang

1.3  Tujuan makalah

1.      Untuk mengetahui sejarah kesultanan Serdang
2.      Untuk mengetahui latar belakang masyarakat melayu Serdang
3.      Untuk mengetahui sistem politik Melayu Serdang
4.      Untuk mengetahui sosial masyarakat Melayu Serdang
5.      Untuk mengetahui ekonomi masyarakat Melayu Serdang
6.      Untuk mengetahui kepercayaan masyarakat Melayu Serdang
7.      Untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi Melayu Serdang
8.      Untuk mengetahui masa keemasan dan keruntuhan Melayu serdang
9.      Untuk mengetahui peninggalan pada masyarakat Melayu Serdang


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Sejarah Kerajaan Serdang
Nama “Serdang” berasal daripada nama pohon serdang, yang daunnya dapat dijadikan atap rumah. Pada tahun 1720, terjadi perebutan tahta kerajaan Deli antara anak Tuanku Panglima Paderap. Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bergelar kejuruan junjungan tidak berjaya merebut haknya ke atas tahta Deli selaku putera gahara dalam perebutan kuasa dengan saudaranya Panglima Gandar wahid. Tuanku Umar dan bondanya Tuanku Puan Sampali berpindah dari Sampali dan mendirikan kampung besar ( Serdang ) pada sekitar tahun 1723.
Tuanku Umar mempunyai tiga orang anak, iaitu Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alam Syah dan Tuanku Sabjana. Apabila Tuanku Umar mangkat, anaknya Tuanku Ainan Johan Alam Syah ditabalkan menjadi raja Tuan, Batang Kuis, Perbauangan dan Tanjung Morawa. Baginda juga mengantar angkatan tentara Ke Langkat untuk menakluki punggai. Puteranya yang sulung, Tuanku Zainal Abidin telah terbunuh bersama-sama empat puluh orang panglima Serdang dalam satu pertempuran di punggai pada tahun 1816, yang kemudian dikenali dengan nama “ Marhum Mangkat di Punggai “.
Dalam tahun 1790-1850, Serdang diperintah oleh Sultan Thaf Sinar Besar Syah atau lebih dikenali Sultan Besar. Di bawah pemerintahan baginda, Serdang dalam kemakmuran. Perdagangan dengan Pulau Pinang dan Malaka juga daerah-daerah lain sangat maju. Wilayah kerajaan bertambah hingga ke Serbajadi, Percut, Dolok (bekas kerajaan Timur Raya), Padang, Bedagai dan Senembah, bahkan pengaruhnya sampai ke Alas dan Singkel. Serdang juga mengadakan hubungan yang erat dengan Aceh dan Siak. Baginda dibantu oleh beberapa orang pembesarnya seperti pangeran muda Seri Diraja Mattakir sebagai Raja Muda, Tuanku Ali Usman (bergelar panglima besar Negeri Serdang di sungai Tuan), Tuanku Tunggal bergelar Seri Maharaja di kampung durian, dan Datuk Akhirullah bergelar pakerma Raja Tanjung Morawa. Pada tahun 1838, Sultan besar ini juga pernah membantu Sultan Kedah, Sultan Tajuddin Halim Syah II membebaskan Kedah dari pada kerajaan Siam.
Baginda mengutuskan putranya, Tengku Abdullah, dan anak saudaranya Tengku Mohd Said ke kedah. Dalam zaman pemerintahan sultan besar ini, Serdang berada dalam keadaan tenteram dan makmur.
Serdang juga di kenali di negeri-negeri lain hingga di semenanjung Tanah Melayu. Banyak daerah yang meminta perlindungan atas kekuatan bela tentaranya, antaranya padang, Bedagai, dan Senembah. Dalam salah satu naskah perjanjian yang tersimpan di istana Serdang ( telah terbakar pada zaman revolusi), tercatat “Pernyataan Bersama” antara sultan Besar ini dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Deli yang berbunyi :
1.      Kedua-dua kerajaan ini berdaulat, merdeka dan berdiri sendiri
2.      Cukai pelabuhan Labuhan Deli dibagi dua antara Serdang dan Deli.
Setelah mangkat Baginda digelar “Marhum Kaca Puri” dan dimakamkan di kampung besar Serdang. Almarhum digantikan oleh puteranya yang sulung, Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Syah (1809-1880). Sultan Basyaruddin ini berkahwin dengan Tuanku Puan Zahra, putri Sultan Rachmad Syah, raja perbaungan ke-4. Zaman pemerintahan baginda dipenuhi dengan peperangan untuk meluaskan jajahan terutama menentang Deli untuk merebut Percut, Denai, Senembah, Padang dan Bedagai. Dalam menghadapi pengaruh Belanda yang semakin kuat menanamkan pengaruhnya di pantai timur sumatera, baginda diberi gelar wazir oleh Sultan Aceh.
Kesultanan Serdang pada Masa Kolonial
Pemerintahan Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan Junjongan berlangsung selama 44 tahun sampai dengan tahun 1767 M. Tuanku Umar Johan memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamshah, dan Tuanku Sabjana (Pangeran Kampung Kelambir). Oleh karena Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamshah (1767-1817).
Sultan Ainan Johan Alamshah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam, putri dari Kerajaan Perbaungan. Wilayah Kerajaan Perbaungan sendiri kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang. Perkawinan Sultan Ainan Johan Alamshah dikaruniai beberapa orang anak, namun anak pertama yang seharusnya menjadi putra mahkota, yakni Tuanku Zainal Abidin, gugur dalam suatu peperangan yang terjadi di Langkat. Sebagai pengganti, ditunjuklah putra kedua Sultan Ainan Johan Alamshah yang bernama Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (1817-1850), sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang.
Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah, yang juga dikenal dengan gelar Sultan Besar Serdang, Kesultanan Serdang mengalami masa-masa kejayaan. Serdang menjadi kesultanan yang makmur karena kemajuan sektor perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain yang meminta bantuan pertahanan dan keamanan dari Kesultanan Serdang.
Pengganti Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh Darussalam, yakni Sultan Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan. Ketika pada tahun 1854 Kesultanan Aceh Darussalam mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah didampingi oleh Orang-orang Besar, wazir, dan raja-raja taklukkan. Namun, era pemerintahan Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah diwarnai banyak pertikaian, baik internal maupun eksternal. Selain berkonflik dengan Kesultanan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi hegemoni dari Belanda yang datang ke Serdang pada tahun 1862. Melalui Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862, Kesultanan Serdang akhirnya terpaksa takluk kepada Belanda yang semakin menekan.
Ketika Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah wafat pada tanggal 7 Muharram 1279 Hijriah (Desember 1880), sang putra mahkota, Sulaiman Shariful Alamshah, masih sangat muda sehingga pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Shariful Alamshah). Setelah dinilai sudah cukup umur, Sulaiman Shariful Alamshah diangkat sebagai pemimpin Kesultanan Serdang dan mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda tertanggal 29 Januari 1887.

Di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah, Kesultanan Serdang melakukan beberapa tindakan strategis untuk menangkal semakin kuatnya pengaruh penjajah Belanda. Salah satu gerakan penting Sultan Sulaiman Shariful Alamshah adalah ketika pada tahun 1891 terjadi perlawanan terhadap Belanda ketika Kontrolir Serdang (wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda) memindahkan ibukota Serdang dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam.
Sebagai bentuk perlawanan, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menolak ikut pindah ke ibukota baru pilihan penjajah, dan sebaliknya justru membangun istana baru, yakni Istana Perbaungan (Keraton Kota Galuh), pada tahun 1886. Selain itu, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah juga membangun Masjid Raya Sulaimaniyah, kedai, pasar ikan, dan kompleks pertokoan sehingga berdirilah sebuah kota kecil yang diberi nama Simpang Tiga Perbaungan. Kota inilah yang dijadikan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah sebagai tandingan ibukota Serdang versi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Selanjutnya, pada tahun 1898 Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menolak menghadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia, beliau tidak bersedia juga menghadap Ratu Kerajaan Belanda. Alih-alih menuruti permintaan itu, pada waktu yang sama, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah malah mengunjungi Jepang dan Tiongkok. Aksi “pembangkangan” ini menjadi bukti nyata bahwa Kesultanan Serdang berani melawan arogansi Belanda.
Dalam kunjungannya ke Jepang, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dijamu secara pribadi oleh Tenno Heika Kaisar Meijimutshuhito. Namun, di pihak lain, Belanda memanfaatkan kepergian Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dengan mempersempit batas wilayah Kesultanan Serdang. Kesewenang-wenangan Belanda ini menyebabkan perubahan dalam susunan Orang-orang Besar di mana Belanda menghapuskan beberapa posisi pemerintahan, termasuk Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.



 Kesultanan Serdang pada Era Kemerdekaan RI
Periode pemerintahan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pada bulan Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Shariful Alamshah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.
Memasuki tahun 1946, wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada tanggal 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang berideologi kiri. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu “mengabdi” kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Di Serdang, keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Kesultanan Serdang luput dari pembantaian karena adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Shariful Alamshah terhadap kaum pergerakan. Selain itu, perasaan anti Belanda Sulaiman Shariful Alamshah telah dikenal sejak zaman kolonial. Sokongan penuh Kesultanan Serdang terhadap berdirinya NKRI semakin memperkuat bahwa Sulaiman Shariful Alamshah berada di pihak Republik Indonesia.
Sultan Sulaiman Shariful Alamshah juga menganjurkan kepada para kerabat dan kaum bangsawan Kesultanan Serdang untuk menempati posisi dalam struktur angkatan bersenjata Republik Indonesia serta organisasi-organisasi politik yang berhaluan Islam maupun nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” tanggal 3 Maret 1946, diadakan perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III Tentara Republik Indonesia di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia,
Keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Pertemuan ini dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Peristiwa pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu menjadi sebuah momen unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat itulah, Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari NKRI sebagai wujud komitmennya terhadap berdirinya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Pada 13 Oktober 1946, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan dikebumikan dengan upacara militer di makam raja-raja di sebelah Masjid Raya Perbaungan. Sebagai pewaris tahta Kesultanan Serdang selanjutnya adalah Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi politik dan keamanan yang belum stabil, maka Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar hanya dinobatkan sebagai kepala adat, bukan sebagai Sultan Serdang. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan karena masih trauma dengan serentetan kejadian tragis dalam “Revolusi Sosial” pada awal tahun 1946 itu.
Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar wafat di Medan pada 28 Desember 1960 dan dimakamkan di Perbaungan. Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar, masyarakat adat Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat dan posisi ini mengalami kekosongan selama lebih kurang 35 tahun. Hingga akhirnya, pada tanggal 30 November 1996, Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang dan memutuskan bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih serta ditetapkan dari putra-putra almarhum Sultan Sulaiman Shariful Alamshah yang masih hidup.
Dari sidang-sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman Shariful Alamshah dan pemegang mahkota Kesultanan Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan Ketua Kerapatan Adat Negeri Serdang. Penabalannya dilakukan dalam upacara adat di Gedong Juang 45 di Perbaungan pada 5 Januari 1997.

Kebangkitan Kesultanan Serdang ternyata tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata hanya dilihat dari perspektif politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Dampaknya, aktivitas kesultanan pun dibatasi hanya sebagai institusi istiadat semata.
Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj mangkat pada tanggal 28 Januari 2001 karena sakit dan dikebumikan di Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Perbaungan. Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj diberangkatkan pada tengah malam tanggal 28 Januari 2001, terlebih dulu diadakan musyawarah sesuai dengan adat “Raja Mangkat Raja Menanam” untuk menentukan siapa pewaris adat Kesultanan Serdang.
Dalam musyawarah itu, anggota sidang menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) ditetapkan sebagai Pemangku Adat Serdang yang selanjutnya. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke-VIII digelar pada tanggal 12 Juni 2002 di Perbaungan. Upacara ini dihadiri oleh 6.000 orang utusan dari seluruh wilayah Serdang dan 2.000 orang undangan dari pemerintah RI serta dari 4 negara.
Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, perubahan luas wilayah kesultanan Serdang dari zaman ke zaman diperoleh melalui beberapa cara, diantaranya dengan jalan penaklukan, kekerabatan (ikatan perkawinan) atau penggabungan wilayah oleh kerajaan-kerajaan kecil ke wilayah Kesultanan Serdang. Sejak awal berdirinya, wilayah Kesultanan Serdang beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial politik yang terjadi. Semasa era kolonial Hindia Belanda, Kesultanan Serdang di masukkan ke dalam Residensi Sumatera Timur bersama sejumlah kerajaan lainnya, antara lain: Kerajaan Asahan, Kerajaan Deli, Kerajaan Kualuh dan Leinong, Kerajaan Langkat, Kerajaan Pelalawan serta Kerajaan Siak Sri Indrapura.


Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan tahun 1949 terjadi perubahan lagi. Kesultanan Serdang yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatera Timur, sejak tahun 1950 dilebur menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara hingga sampai saat ini.
Berdasarkan data yang ditemukan dari beberapa sumber, daerah-daerah yang pernah dan masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Serdang, antara lain: Percut, Perbaungan, Sungai Ular, Sungai Serdang, Padang, Bedagai, Sinembah, Batak Timur, Negeri Dolok, Batu bara(lima laras), Serbajadi, Denai, Patumbak, Rantau panjang, Bandar Labuhan,
 Lengo Seperang/kuala namu, Pantai Cermin, Pertumbukan/galang, Medan Sinembah, Tambak Cikur, hinga Lubuk Pakam.
Kesultanan Serdang mempunyai istana yang terletak di Desa Galuh, Perbaungan. Namun pada saat ini istana tersebut sudah tidak ada lagi dikarenakan di bakar Oleh pihak Belanda. Pihak kerajaan tidak mau mendukung Belanda di masa penjajahan sehingga mereka marah dan membakar istana kerajaan. Tanah yang dulunya berdiri sebuah istana kerajaan sekarang sudah berubah menjadi perumahan dan perkuburan.
Hasil gambar untuk istana serdang
                        (istana serdang zaman dahulu)

            Namun sekarang Serdang mempunyai Reflika Istana yang terletak di jalan lintasan Sumatera, Medan-tebing Tinggi nomor 42 Kelurahan Tualang, kec.perbaungan yang merupakan tiruan dari bangunan Istana Sultan Serdang yang dulu ada di Desa Galuh, Perbaungan. Bangunan replika ini diprakarsai oleh Sultan Serdang Allahyarham Tuanku Luckman Sinar Basarshah II SH dan diresmikan pada 7 januari 2012untuk mengenang kejayaan masa lampau kerajaan tersebut.
Menurutnya, reflika istana dibuat sebagai pembelajaran dan pengingat sejarah, bahwa dulunya pernah ada kerajaan Serdang. Selain itu, reflika istana ini diharapkan bisa jadi lokasi pusat pengembangan kebudayaan dan adat Melayu.
                    Hasil gambar untuk istana serdang
                                      (Reflika istana Serdang)

2.2  Latar Belakang Masyarakat Melayu Serdang
Suku Melayu Serdang, adalah suku Melayu yang mendiami wilayah kabupaten Serdang Bedagai di provinsi Sumatra Utara. Suku Melayu Serdang ini banyak bermukim di wilayah Perbaungan, Sei Rampah, Bandar Kalipah dan lain-lain tersebar di seluruh kecamatan yang berada di kabupaten Serdang Bedagai provinsi Sumatra Utara.
Suku Melayu Serdang berbicara menggunakan bahasa Melayu dialek Serdang. Bahasa Melayu Serdang, berbeda dengan bahasa Melayu Deli dalam hal dialek, tapi hampir sama dengan bahasa Melayu Langkat yang menggunakan dialek "e".
Melayu yang ada di Kesultanan dari dulunya sampai sekarang mempunyai marga, diantara marga yang ada antara lain : Surbakti, Barus, dan Purba. Sampai sekarang ketiga marga ini masih digunakan oleh masyarakat serdang.

2.3  Sistem Politik Kerajaan Serdang
Negara Kesultanan Serdang menganut sistem pemerintahan Paternalisme; pemerintahan dengan sistem melalui perantaraan kelas atau elite birokrat istana. Elite pemerintah istana tersebut digunakan dengan  pertimbangan latar belakang kultur istana yang masih dimilikinya sehingga diharapkan dapat secara efektif memberikan pengaruh pada efektivitas dan kontrol atas jalannya berbagai kebijakan dari  pemerintah ke seluruh wilayah kekuasaan Negara Kesultanan Serdang. Pemanfaatan elite politik lokal ke dalam pemerintah kolonial erat kaitannya dengan tujuan politik untuk tetap menjaga loyalitas mereka kepada pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan serdang yang pertama, yaitu Tuanku umar Johan Alamshah Gelar kejuruan Junjongan (1723-1767), pemerintahan Kesultanan Serdang masih dalam kondisi  yang tidak menentu karena banyaknya konflik yang harus dihadapi. Baru pada era Sultan yang kedua, yakni Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767-1817), Kesultanan Serdang mulai menyusun konsep untuk mengatur tata pemerintahannya. Salah satu yang terpenting adalah dengan dibentuknya Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ( Wazir Sultan), Yaitu:

1.      Pangeran Muda, berwilayah di sungai tuan
2.      Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu.
3.      Datok Paduka Raja, berwilayah di Batang Kuis
4.      Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia
 Masa pemerintahannya didirikan  kampung-kampung Melayu di kiri-kanan sungai Serdang sampai ke hulunya yang berbatasan dengan peringgan Senembah. Pada masa pemerintahannya juga kekuasaan Serdang Meliputi juga Denai, Perbaungan, Percut, dan ke pedalaman Serdang di wilayah yang dihuni etnis Karo ( Senembah dan Tg.Muda) dan kewilayah yang dihuni etnis Batak Timur.
Pada tahun 1817 M. Tuanku Sultan Ainan Johan alam Shah mangkat. Oleh para orang besar dan rakyat  ditabalkanlah Tuanku Thaf Sinar selaku pengganti Raja Serdang dengan gelar Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah.
Masa pemerintahannya serdang berada dibawah kekuasaan  nominal dan mengakui pemerintahan agung Siak. Serdang meneguhkan benar pemerintahannya diwilayah Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah serta Batak Timur Dusun.
Sultan Sinar mempunyai sendiri armada dagangnya berniaga ke Penang yang menjadi pusat inggris di Selat Malaka. Oleh karena itulah Sultan Sinar membuat perjanjian dengan Inggris melalui kuasa dagangnya, bernama John Anderson, pada tanggal 18 Jumadil awal 1238 H (1823M). Bahkan menurutnya, karena suasana aman banyak pedagang dari Barat (Singkel) yang berdagang melalui pelabuhan Serdang. Adapun orang besar Serdang yang menemani Sultan  dan mengepalai daerah-daerah ialah Tuanku Mattakir (gelar pangeran muda Sri Diraja sebagai raja muda), Tuanku Ali Usman (kampung Kelambir/sei.Tuan) bergelar panglima besar Sedang, Tuanku Tunggal di Kampung Durian ( gelar Sri Maharaja) dan Datuk Akhirullah di Tg.Morawa (gelar Pakerma Raja). Sultan Sinar pernah juga membantu dengan panglima dan beberapa perajurit kepada Sultan Tajuddin Halim Shah-II pada tahun 1838M. Untuk membebaskan Kedah dari Kerajaan Siam. Baginda uga memerintahkan Raja Graha dari Denai untuk menguasai kembali daerah Pulau Berayan di Sungai Deli yang dahulunya adalah wilayah pusaka Tuanku Wahidin (kejuruan santun) pada tahun 1823.
Negeri-negri jajahan masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Shah Serdang :
·         Bedagai, dibawah wakil Suktan Serdang, TUAN GOAH SARAGIH DASALAK dengan 2 orang besarnya yaitu Datuk Penghulu Lela Wangsa dan Datuk Gadang.
·         Padang, dibawah wakil Sultan Serdang, RAJA BIDAR ALAM dan putranya RAJA MUDA HITAM pada zaman Sultan Basyaruddin, menjadi kepala di Padang ialah MAHARAJA GRAHA MARAHKUN (wakil sultan serdang). Dia diberhentikan Deli pada tahun 1866.
Karena kemakmuran dan kejayaan Kerajaan Serdang masa itu maka Sultan Panglima Mangedar Alam dari Deli ada membuat surat pengakuan pada tanggal 15 syaban 1242 (1823M) yang berbunyi :

1.      Bahwa Kerajaan Serdang dan Kerajaan Deli masing-masing berdaulat dan merdeka dan berdiri sendiri.
2.      Bahwa cukai Labuhan Deli dibagi dua diantara Serdang dan Deli dimana Sultan Deli mengakui membayar kepada Sultan Serdang setiap tahun  $.Str.600,-.
Perjanjian Dagang dengan Inggris berbunyi Sebagai berikut:

Tanda tangan SULTAN BESAR                   Ditujukan  kepada Hon.W.E.Philips,
            Dari Serdang                                       Gubernur inggris di Pulau Pinang
                                    (didahului komplimen yang biasa)
Beta telah menerima surat sahabat beta melalui agennya, TUN JOHN ANDERSON, dengan penuh kegembiraan. Paduka sahabat mengemukakan  dalam surat itu, tentang perdagangan antara serdang dengan Pulau Pinang, dan menyatakan harapan untuk kemakmuran negeri Beta, dan bertambahnya hubungan diantara kedua negeri ini. Beta sangat berbesar hati meletakkan dasar persahabatan dengan paduka sahabat Beta, dan memandang perlu bertambahnya perdagangan antara pulau pinang dengan negeri Beta, dan Beta tidak merasa perlu lagi untuk mengadakan perjanjian dagang atau hubungan lainnya dengan negeri lain. Beta berharap dapat dagangan keluar dari kerajaan ini Beta bersedia mengirimkannya ke Pulau Pinang.
            Mengenai persoalan perdagangan umumnya, Beta telah berbincang secara bebas dan panjang lebar dengan agen dari pada paduka sahabat Beta, yaitu Tuan John Anderson, dan menyampaikan kepadanya mengenai berbagai jenis barang dagangan yang diperlukan untuk negeri ini dan dengan memperhatikan akan pajak cukai Negeri Beta.
            Tertanggal 18 Jumadil Awal 1238 H, hari jumat (1823 M). Sultan Thaf Sinar Basar Shah atau lebih popular dengan nama Sultan Besar, mangkat pada tahun 1850M. Dan dimakamkan di Makam Diraja Serdangdi desa Masjid Kec.Batangkuis Kab.Deli Serdang. Baginda setelah mangkat diberi gelar juga Mahrom Besar, dan meninggalkan putera : Tuanku Basyaruddin, Tengku Mustafa, Tan Siddik (Tamenggong) dan Tengku H.Mat Yasin (pangeran mangku Negara kepala daerah Batak Timur. Permaisuri Baginda adalah Tuanku Puan Sri Indera Kuala binti Raja Perbaungan juga.
            Pemimpin Serdang yang selanjutnya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah (1819-1880), mengalami masa-masa dimana eksistensi Kesultanan Serdang mulai terusik oleh kedatangan penjajah Belanda. Dalam menghadapi pengaruh Belanda yang semakin kuat di pantai Timur Sumatera, Kesultanan Serdang dibawah komando Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah berdiri di belakang Kesultanan Aceh Darussalam yang memang gencar melakukan perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Atas dukungan tersebut, pada 1854 Sultan Aceh Darussalam berkenan menganugerahi gelar kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah sebagai wazir Sultan Aceh dengan simbol kekuasaan yang disebut Mahor Cap sembilan.
            Seperti para pendahulunya, dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah  juga didampingi orang-orang besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah orang berhasil ditaklukkan Serdang. Akan tetapi, konflik yang berkepanjangan mengakibatkan sering terjadinya pergantian orang-orang besar dan para Wazir serta raja-raja dari wilayah taklukan Kesultanan Serdang tersebut.



            Di luar dewan kerajaan yang terdiri dari orang-orang besar pilihan Sultan, terdapat lagi lembaga pemerintahan yang mengurus daerah-daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang. Institusi ini dikenal dengan nama Lembaga Orang Besar Berlapan yang terdiri dari 8 orang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di luar pusat kerajaan.
            Pada masa pemerintintahannya Serdang mencapai puncak kebesarannya karena baginda dengan kekuatan senjata dan laskarnya telah menaklukkan wilayah sampai kebatubara (Lima Laras) dan seluruh senembah dan ke pedalaman kab.Deli Serdang, yaitu wilayah etnis karo dan batak timur sesuai dengan gelarnya Sayaiful Alamsyah(pedang alam). Secara kebutulan ia bertemu dengan imbangnya yang piawai yaitu Sultan Osman dan kemudian Raja Muda Sulaiman dari Deli.
            Berikut ini adalah nama-nama Sultan yang pernah memerintah Kesultanan Serdang :
1.      Sultan Umar Johan Alamshah Gelar Kejuruan Junjongan ( 1723-1767)
2.      Sultan Ainan Johan Alamshah (1767-1817)
3.      Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817-1850)
4.      Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah ( 1819-1880)
5.      Sultan Sulaiman Shariful Alamshah (1866-1946). Selama tahun 1880-1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa ( paman putra mahkota) sebagai wali karena Sulaiman Shariful Alamshah masih sangat belia.
6.      Tengku Putera Mahkota Rajih anwar (1946-1960)
7.      Tuanku Abunawar Sinar Shariful Alam Al-Haj (1997-2001)
8.      Tuanku Lucman Sinar Baharshah II (2001-sekarang), dinobatkan pada tahun 2002.

 Bentuk Pemerintahan Negara Kesultanan Serdang
Bentuk Pemerintahan Negara Kesultanan Serdang merupakan bentuk pemerintahan Quasi. Bentuk Pemerintahan Quasi di Negara Kesultanan Serdang pada hakekatnya merupakan bentuk variasi dari  bentuk Monarchie Terbatas dan bentuk pemerintahan Aristokrasi. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda, sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Apabila dilihat dari kedua bentuk pemerintahan di Negara Kesultanan Serdang; bentuk pemerintahan quasi yang diterapkan oleh Negara Kesultanan Serdang ini teraktualisasi
 bahwa Sultan maupun Raja Urung merupakan Kepala Pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet pimpinan Raja Muda dan Menteri Utama. Tetapi Sultan maupun Raja Urung juga bertanggung Negara Kesultanan Serdangb kepada Lembaga Orang Besar maupun Lembaga Harajaan; Lembaga Orang Besar maupun Lembaga Harajaan dapat menjatuhkan Sultan maupun Raja Urung.

2.4   Sistem Sosial Kesultanan Serdang
            Hak penduduk asli Melayu di pesisir atas tanah dan lautan di Serdang tercermin dari pepatah adat lama zaman dahulu kala antara lain :
·         patah rantingnya, minum airnya, nenek moyang kita yang punya. Artinya : baik hutan didarat maupun dilaut kepunyaan nenek moyang yang diwariskan kepada anak cucunya.
·         sehelai akar puntung, sebatang kayu rebah, sebingkah tanah terbalik, negeri yang empunya. Artinya : yang ada di hutan dan hasilnya kepunyaan komunitas dalam kesatuan territorial hukum adat yaitu Negeri.
·         pinang nan gaya, nyiur yang saka, jerat yang panjang, nenek moyang kami yang empunya. Artinya : tanah dan hutan serta hasilnya dan penghuninya kepunyaan warisan nenek moyang turun temurun secara bersama.
 Kekerabatan Melayu
Dalam sistem kekerabatan, orang Serdang lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Serdang.
 Adat Melayu
      Menurut Informan Hasanuddun NZ (bahyung), adat budaya Melayu di Negeri Serdang pada saat ini telah tewrcabik-cabik keadaannya akibat derasnya arus globalisasi  melanda di Negeri Serdang. Ia juga mengatakan “orang melayu sendiri malu mempergunakan adatnya sendiri, karena sebagian suku Melayu yang ada menganggap bahwa adat melayu adalah adat yang ketinggalan zaman, kolot, kuno dan sebagainya.
Tidak adanya para orang tua yang mewariskan adat budaya yang tinggi nilai harganya itu kepada anak cucu, keluarga, dan kerabatnya sehingga mengakibatkan adat Melayu di tanah Serdang ini hikang terkikiskan zaman. Tidak terlepas pula dengan orang yang berada di luar Suku Melayu, yang selalu menyudutkan bahkan terkesan menghalangi keberadaan adat Melayu, dengan tudingan yang tidak beralasan sama sekali, feodalisme, bahkan katanya mau mendirikan kerajaan kembali”.
             Di dalam bukunya, bahyung menuturkan “ada sebahagian kecil masyarakat yang masih menggunakan adat Nuansa Melayu yaitu tepung tawar, menggunakan balai dan lainnya. Dahulu  banyak hal-hal adat yang sangat indah berlaku sebelum kenduri perkawinan itu tiba, seperti merisik, meminang, ikat janji dan tepak sebagai salah satu media komunikasi dalam acara tersebet diatas turut memegang peran yang penting, diiringi pula dengan pantun-pantun yang cukup menawan dan menggelitik hari, kemudian sewaktu mengantar mempelai laki-laki kerumah mempelai wanita, betapa indahnya adat Melayu, seperti ada yang dikatakan empang batang, empang pintu, empang kipas, tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi taman dan lain-lain. Bahyung mengatakan sebagian kecil yang dikemukakannya sudah hilang ditelan zaman”.
            Menurut bahyung ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya hal diatas, yaitu :
1.      Malu karena adat Melayu dianggap kolot ketinggalan zaman dan lain-lain.
2.      Tidak adanya kader yang dapat dijadikan telangkai ataupun pembawa acara adat.
3.      Tidak adanya financial untuk mendukung pelaksanaan ini.
4.      Memang tidak mau sama sekali, dengan berbagai alasan.

  Stratifikasi Sosial Masyarakat Melayu Serdang
            Secara struktur fisik dan budaya, suku melayu serdang ini tidaklah berbeda dengan suku Melayu lainya, seperti suku Melayu Deli, Langkat, Asahan, Labuhan Batu dan Riau. Karena mereka semua berasal dan berakar dari satu budaya yang sama, hanya saja karena telah terpisah-pisah, sehingga terjadi sedikit perbedaan-perbedaan kecil yang tidak terlalu mencolok.
           


Menurut informan (bahyung),ia mengatakan di Serdang pada saat ini, sulit untuk membedakan mana suku Melayu dan mana suku batak, karena dikehidupan sehari-harinya suku melayu sudah tidak lagi menggunakan bahasa Melayu, dan tidak lagi memakai rumah panggung yang menjadi ciri khasnya, mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka dan menggunakan rumah yang modern sebagai tempat tingalnya. Memang ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan bahasa Melayu itupun di pinggiran pantaiujarnya.

2.5  Sistem Ekonomi Kesultanan Serdang
Mata pencaharian suku Melayu Serdang adalah sebagian besar sebagai petani, nelayan, selebihnya pedagang, perajin anyaman tikar, perajin atap rumbia dan perajin keranjang bambu. Mereka juga berdagang pisang sale. Selain itu banyak juga dari mereka yang menjadi pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah serta menjadi wiraswasta.
Apabila sampai musim dimana terlihat bintang sandaran lemangmaka orang-orang melayu mulai menanam padi turun keladang. Sebelum datang orang Jawa, Banjar, dan lain-lain, orang Melayu di daerah pantai Serdang menanam padi dengan cara ladang bukan di sawah. Selain menanam padi, masyarakat serdang juga bermatapencaharian sebagai nelayan. Ada beberapa cara yang digunakan masyarakat untuk menangkap ikan, yaitu :
1.      Belad
Belad adalah terbuat dari bambu yang berjerjak-jerjak, dinamakan bilah, ini diletakkan dipintu-pintu air. Apabila air telah surut maka ikan akan masuk kedalam lubang belad.
2.      Ambai
Ambai adalah jaring yang dipancangkan di laut dengan menggunakan tiang-tiang. Jaringnya berbentuk seperti kaus kaki sehingga apabila ikan/udang yang masuk tidak bisa keluar lagi.
3.      Jermal
Jermal hampir sama dengan ambai, tetapi tiang yang digunakan jerma lebih banyak lagi dibandingkan ambai. Jaring jermal berbentuk seperti tikar terbuat dari rotan getah yang dijalin dan bertali diikat di empat penjuru. Jika ikan dirasa telah banyak maka jaring ditarik ke atas pada ketika air laut mulai pasang.

4.      Bubu
Berbentuk seperti kandang yang besarnya 1 kali 3 meter terbuat dari buluh tebal yang diracip dan dijalin. Mempunyai sebuah pintu masuk untuk ikan tetapi arah ke dalam pintu masuk ada buluh-buluh tajam sehingga ikan tidak bisa keluar. Didalam bubu dimasukkan umpan untuk memancing ikan agar mau masuk ke dalam.

ketika pemerintah Hindia Belanda berhasil menancapkan kekuasaannya atas kerajaan Negeri Serdang 6 oktober 1965, maka perusahaan Asing terutama perkebunan tembakau mulai menanam tembakau, kopi, pinang, karet, sehingga banyaklah tanah yang subur yang tidak dipakai rakyat kampung Melayu di daerah pesisir yang disewakan kepada perusahaan asing itu, tetapi ketika penduduk kampung bertambah, maka diperlukan tanah baru untuk bertanam padi dan palawija setiap tahun. Maka perlulah dibuat oleh kerajaan Serdang peraturan yang melindungi hak adat masyarakat Melayu itu. Dibuat ketentuan didalam pasal-pasal konsesi bahwa misalnya tanah perkuburan, pohon dimana lebah madu bersarang, atau tempat yang dianggap keramat tidak boleh dikuasai oleh pihak perkebunan. Kalau tanah yang dikonsesikan itu tidak dikerjakan seperti yang diminta dalam waktu tertentu, maka tanah tersebut dikembalikan kepada kerajaan  Serdang, dan terserahlah kepada orang besar kerajaan sesetempat apakah tanah itu bisa diserahkan kepada kerajaan untuk dikonsesikan kembali kepada perusahaan lain atau dibuat perumahan rakyat dengan surat GRANT SULTAN.
 Perdagangan, Cukai, Industri kapal, Harga mata uang
            Jenis import dan export tidak banyak berbeda dengan yang ada di Deli, Buluh Cina dan Langkat. Perdagangan nampaknya bertambah maju dengan pesat karena hempengan-hempengan di sungai Deli, banyak sekali lada melewati sungai Serdang . Orang batak dari negeri dolok banyak berniaga. Demikian juga orang-orang Alas dari Singkel (pantai barat Sumatera), dengan membawa kapur barus, emas dan lainnya, jumlah expot 8000 pikul. Yang laku ialah import kain-kain buatan Eropah, kain putih, kain-kain untuk tengkulukyang setiap harinya permintaan bertambah.
 Hampir tidak ada konsumsi candu untuk penduduk Melayu, tetapi banyak di import untuk penduduk dipedalaman.
            Cukai import dan export pada saat itu sangat rendah, berkisar $.1,-per 100 gantang lada,dan $.1,-per orangnya. Untuk menambah pemasukan, ada penambahan ongkos untuk kampung-kampung besar, kampung Durian, kampung Klambir untuk lada, padi dan garam. Banyak macam-macam cukai. Pendapatan seorang Sultan  yang diperoleh dari cukai ini berkisar $.1.200,- tetapi pada saat itu seorang sultan tidak mengandalkan pendapatan dari cukai ini saja, ia juga melakukan perdagangan sendiri sehingga mendapatkan pendapatan yang lebih besar.
            Kapal-kapal yang digunakan untuk membawa semua dagangan setiap tahunnya dibuat di Negeri Serdang sendiri. Kapal yang dibuat di Negeri Serdang biasanya terbuat dari bahan kayu merbau, niri dan bungor. Kayu-kayu ini lebih kuat dan mudah dibentuk dibandingkan dengan kayu-kayu yang lainnya. Tuanku Ainan johan Alamshah juga merupakan juga merupakan pedagang yang ulung dan banyak mempunyai perahu dagang untuk mengangkut ke Penang dan ketempat-tempat lain.
            Kemudian harga mata uang pada saat itu, harga lada $.20,- per bahar atau sama dengan 100 gantang, bijian seperti jagung $.10,- per 100 gantang, tembakau $.10,-per pikul dan kacang putih dihargai $.8,-.

2.6  Sistem Kepercayaan Masyarakat Melayu Serdang
Masyarakat suku Melayu Serdang, hampir seluruhnya memeluk agama Islam, seperti masyarakat Melayu lainnya yang menjadikan agama Islam sebagai agama Melayu dan agama Adat, beberapa budaya dan adat-istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam. Tapi walaupun begitu mereka masih mempercayai berbagai hal takhyul dan hal-hal gaib serta tempat-tempat keramat yang menurut mereka bisa mempengaruhi kehidupan dan rejeki mereka.
Salah satu tradisi budaya suku Melayu Serdang, adalah Tradisi Tepung Tawar. Tradisi ini terlihat bahwa dahulunya suku Melayu Serdang ini pernah memeluk agama Hindu atau pernah terlibat dengan budaya Hindu. Tradsi ini sebagai upacara untuk mengungkapkan rasa syukur akan sesuatu yang mereka dapatkan dengan melaksanakan upacara yang disebut Tepung Tawar. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Serdang sejak abad ke-15 dan dirubah dan disesuaikan dengan tatacara agama Islam.
Setiap komunitas budaya Melayu memiliki upacara ritual yang masih dipercayai oleh pemiliknya dan dihubungkan dengan kepercayaan yang besifat gaib. Kesultanan Serdang juga memiliki kekayaan tradisi yang berupa acara dan upacara ritual yang merupakan salah satu budaya Melayu yang paling tua. Upacara ritual masih dilakukan oleh masyarakat Melayu Serdang karena etnis ini merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu, Budha, dan Islam.
  Upacara Jamu Laut
Salah satu dari sekian banyak upacara ritual masyarakat Melayu Serdang adalah ritual upacara Jamuan Laut yang merupakan salah satu jenis upacara tolak bala. Upacara ritual Jamuan Laut dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut (jimbalang) yang memang telah dikenal dekat oleh masyarakat Melayu. Upacara Jamuan Laut ini berasal dari masyarakat Melayu lama yang terus hidup dan eksis sesuai dengan perkembangan kepercayaan masyarakat Melayu itu sendiri.
Kepercayaan atau upacara ini mempunyai asal yang sama dengan asal nenek moyang bangsa-bangsa di Nusantara yakni dari Asia Belakang Indo-China yang datang sekitar ratusan tahun yang lalu.
Peran Pawang Laut
Upacara Jamuan Laut diselenggarakan oleh kaum nelayan yang mendiami daerah pesisir di tepi pantai sekurang-kurangnya 3 kali dalam setahun. Upacara ini dilakukan jika dirasa laut sudah berkurang menghasilkan ikan seperti biasanya, atau ketika banyak nelayan yang mengalami kecelakaan di laut sewaktu mencari ikan. Oleh karena itu, dibuatlah upacara Jamuan Laut dengan memanggil pawang laut untuk memimpin upacara tersebut. Beberapa pantangan itu antara lain adalah sebagai berikut:
  • Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan di laut pada tiap-tiap hari Jumat, sejak terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
  • Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan di laut pada hari-hari besar Islam, sejak terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
  • Dilarang menelusuri muara pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia (setiap 17 Agustus), dari terbitnya matahari (jam 06.00) hingga terbenamnya matahari (jam 18.00).
  • Dilarang berkelahi di laut dan di sekitar muara.
  • Dilarang membanting ikan secara sengaja maupun tidak sengaja.
  • Dilarang menjatuhkan atau mengambil ikan dari daun pinang sebagai umpan hak orang lain, sebelum tengah hari.
  • Sewaktu penyelenggaraan upacara Jamuan Laut dan sehari sesudahnya tidak diperbolehkan menangkap ikan di laut.
2.7  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Melayu Serdang
Sultan Sulaiman sangat antusiasnya mengenai pendidikan bukan saja menyekolahkan keluarga sendiri,tetapi juga para gadis harus lepas dari pingitan dan musti bersekolah. Dalam periode 1930-1933, Sultan Serdang sudah mendirikan sekolah rakyat (sekolah kerajaan 3 tahun) di: simpang tiga perbaungan; Galang; Pertumbukan; Rantau Panjang; Tg.morawa; dalu X; Batang Kuis; Serbajadi; Silindak; Gunung Paribuan; Gunung Meriah; Tiga Juhar; Rambei; Durian Tinggung; Gunung rintih; Tadakun Rage; Pantai Cermin; Ramunia; Aras Kabu; Bandar Gugung, Kotarih; Sennah.
Dalam periode 1934-1933 dibuka lagi sekolah kerajaan di pasar Bengkel, jadi semua ada 19 buah sekolah belum termasuk dibangunnya sekolah-sekolah kepunyaan perkebunan dan sekolah swasta agama Islam.
Disamping itu sultan Sulaiman menghendaki agar kepala daerah haruslah bersekolah dan puteranya yang bakal pengganti harus juga menempuh pendidikan. Oleh karena itu diberikan prioritas kepada mereka itu untuk memperoleh pendidikan yang patut ( kalau perlu ke Jawa) yang dibayar dari kas kerajaan Serdang.
Sultan juga embuka sekolah pertanian dan sekolah pertukangan dibangun purba dengan menyediakan 1000 bahu tanah dan biaya FI. 10.000,- dan bank “Batak” 14-8-1916 untuk membiayai proyek itu buat putra-putri daerah batak timur itu. Sultan Sulaiman mendirikan sekolah agama islam menengah yang dinamakan “Syairus Sulaiman” dimana menjadi guru dan Tuan guru Syekh H. Zainuddin, Tengku Fachruddin dan lain-lain.  
Perobatan Melayu
            Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sangat peduli sekali terhadap kesehatan rakyat. Rumah sakit pusat kerajaan Serdang didirikan di Kota Perbaungan (untuk kawasan Serdang Hilir) dan dikota Galang (untuk kawasan Serdang Hulu) sejak 1-8-1935. Pada saat itu dibangun juga Purba di setiap distrik dibuka poliklinik dimana rakyat bisa berobat secara Cuma-Cuma. Kesultanan Serdang juga menanggung rakyatnya yang kena penyakit kusta di obat di Lau Simomo atau di Pulau Sicanang yang ongkosnya ditanggung oleh kerajaan.
            Selain dengan perobatan medis, menurut Informan Hasanuddin ( bahyung) masyarakat Melayu Serdang juga mempunyai perobatan secara tradisional yaitu salah satunya adalah perobatan dengan menggunakan kunyit. Cara perobatan seperti ini sudah ada sejak dulu sampai sekarang (ujar bahyung).
 Musik dan Hiburan
Terdapat tiga buah alat musik yang utama pada kesenian Melayu Sumatera Timur, khususnya di wilayah Kesultanan Serdang, yaitu gendang, rebab (kemudian diganti dengan biola), dan gong atau tetawak (kemudian diganti dengan bass). Pada perkembangan selanjutnya, ketiga alat musik utama tersebut mendapatkan penambahan alat-alat musik lain, seperti beberapa jenis gendang (misalnya gendang panjang), telempong, kesi (simbal), ceracap, gedombak, gedug, serunai, gambang, rebana, dan alat musik lainnya.
1.Gendang
Gendang termasuk ke dalam kelompok alat musik perkusi. Alat musik ini terbuat dari kayu yang ditutup dengan kulit binatang (selaput atau membran) pada kedua sisinya. Beberapa kulit binatang yang lazim digunakan sebagai selaput atau membran gendang adalah kulit kambing, sapi, dan kerbau.
2.Rebab
Merupakan alat musik kordofon (lute type) yang berfungsi sebagai alat melodi solo. Rebabrebab dimainkan dengan cara diletakkan di bawah seperti alat musik cello, sedangkan pemainnya dalam posisi duduk. termasuk dalam kategori alat musik gesek, seperti biola.

3.Gong atau Tetawak
Pada awalnya gong digunakan sebagai alat musik perang, pemberi berita jika terjadi sesuatu (bahaya), dan perangkat upacara adat. Namun dalam perkembangannya, sekitar abad ke-12, gong telah dijadikan sebagai dimasukkan sebagai salah satu alat dalam perangkat alat music, seperti gamelan. Gong Melayu Sumatera Timur terbuat dari gangsa dan berbusut. Mitos yang paling dikenal oleh masyarakat Melayu adalah larangan untuk melangkahi gong karena dianggap memiliki kekuatan gaib. Selain itu, pada puntil gong di sebelah dalam biasanya disapukan kapur sebelum dimainkan.

2.8  Masa Keemasan dan Runtuhnya Kerajaan Serdang
a.       Zaman Keemasan Kesultanan Serdang

Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan di zaman Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817-1850). Pada masa ini, penerapan Adat Melayu yang bersendikan Islam sangat dijunjung tinggi. Hasilnya ialah banyak rakyat Batak Hulu yang memeluk Islam. Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang maju. Nama kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang. Ketika utusan Kerajaan Inggrisdi Pulau Pinang, John Anderson, mengunjungi Serdang tahun1823, ia mencatat:
1. Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
2. Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
3. Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantaibaratSumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan BukitBarisanmenjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
4. Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan Negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
5. Cukai di Serdang cukup moderat.



b.      Zaman Kemerosotan dan Penjajahan

Kesultanan Serdang mulai merosot dibawah Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah (1819-1880), yang ditandai dengan kedatangan penjajah Belanda. Akibatnya Sultan Serdang terpaksa meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam yang terbiasa berperang melawan penjajah. Sebagai balasannya adalah, pada 1854 Sultan Aceh Darussalam berkenan menganugerahi gelar Wazir Sultan Aceh kepada Sultan Basyaruddin Shariful Alamshah yang disebut Mahor Cap Sembilan. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah juga didampingi Orang-orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan Serdang.
 Selain itu, terdapat lagi Institusi atau Lembaga Orang Besar Berlapan yang terdiri dari 8 orang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di luar pusat kerajaan. Namun, akibat konflik yang berkepanjangan mengakibatkan sering terjadinya pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir serta raja-raja dari wilayah taklukan Kesultanan Serdang. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Shariful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mengakui kekuasaan Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.

c.       Zaman Keruntuhan

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan.Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946).
Tragedi 3 Maret 1946, terjadi ‚Revolusi Sosial‛ di wilayah Sumatera Timur. Para loyalis Republik yang pro komunis menuduh Raja-raja dan kaum bangsawan Sumatera sebagai pengkhianat karena dianggap mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selama revolusi sosisal tersebut terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Seperti terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar.
Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.Di wilayah kesultanan Serdang keadaan sedikit berbeda. Berkat dukunganpositif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaumpergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan ataupun pembunuhan terhadap keluarga kesultanan. Akhirnya pada 4 Maret 1946, Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat itu berakhirlah Kesultanan Serdang.

2.9  Peninggalan Kesultanan Serdang
Sisa-sisa sejarah kesultanan Serdang sampai kini masih bisa dilihat di Perbaungan, Serdang Bedagai, yakni Mesjid Sulaimaniyah. Dulunya masjid ini berada tidak jauh dari Istana K esultanan Serdang: Istana Darul Arif di Desa Kota Galuh. Sayangnya istana tersebut kini tak berbekas. Masjid ini terletak di desa Kota Galuh Kecamatan Perbaungan tepat di pinggir jalan raya.
Gambar terkait



MASJID SULAIMANIYAH PANTAICERMIN

Dengan nama yang sama karena didirikan oleh orang yang sama, yakni sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, Masjid Raya Sulaimaniyah yang terletak di desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin didirikan pada tahun 1901 yang berarti berumur 95 tahun atau lebih dari satu abad. Berbeda dengan Masjid Raya Sulaimaniyah di Perbaungan, masjid yang berada di Pantai Cermin ini kesannya sebagai bangunan lama dan bersejarah masih kental terlihat, walaupun sudah banyak juga bagian masjid yang telah direnovasi.
Hasil gambar untuk peninggalan serdang

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah berdiri dan berkembangnya Kesultanan Serdang (1720-1946) tidak bisa dipisahkan dari peranan agama Islam yang turut mempengaruhi dan mewarnai era kegemilangannya. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang di Kesultanan Serdang meliputi perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah Sultan-sultan yang memerintah mengadopsi hukum dan syariat Islam ke dalam sistem pemerintahan. Islam di Kesultanan Serdang yang paling menonjol adalah perpaduan adat Melayu dengan nilai-nilai Islam. Walaupun unsur-unsur budaya Hindu dan Budha masih terasa kental. Di zaman Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang berlangsung dari era kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946), Islam semakin berkembang dengan pesat. Selain sebagai kepala pemerintahan, Sultan juga adalah Khalifah Fil Ardi, atau disebut juga dengan Amirul Mukminin dimana Sultan juga mengangkat alim ulama untuk mengurusi seluk-beluk keagamaan dengan melantik Qadhi, membentuk Majelis Syar’i yang berfungsi untuk menjalankan syariat Islam di tengah masyarakat, mendirikan madrasah dan sekolah.
Selain mempunyai Sultan-sultan yang berpengaruh, Kesultanan Serdang sejak 1720 sampai 1946, juga melahirkan tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang alim bijaksana.Dengan bantuan tokoh-tokoh dan alim ulama tersebut sistem pemerintahan dalam Kerajaan Serdang berjalan dengan baik dan teratur.Keberadaan ulama dan tokoh-tokoh Islam tersebut turut mewarnai kehidupan masyarakat di Kesultanan Serdang.Adapun mengapa akhirnyaKesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1946 yang mengakhiri sejarah Kesultanan  Serdang, bertitik tolak dari tumbuhnya gerakan kebangsaan yang ingin mengakhiri kekuasaan kolonial. Pada awal abad ke-20 banyak lahir organisasi, baik politik maupun sosial yang sarat dengan muatan  kebangsaan. Organisasi ini berkembang dengan cepat, termasuk di Sumatera Timur wilayah Kesultanan Serdang berada di dalamnya. Bagi Sultan Sulaiman, pergerakan kebangsaan ini memiliki andil cukup besar dalam penguatan politik dimana dimensi pembangkangan beliau makin meluas dan bersinggungan dengan kelompok pergerakan nasional. Tidak heran kalau kemudian Sultan Serdang yang terakhir, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, membaca konstelasi perkembangan yang berubah drastis itu dan bergabung dengan arus nasionalisme. Kalau tidak, maka ia akan mengalami nasib yang sama sebagaimana yang dialami Kesultanan dan kaum kerabatnya di daerah-daerah lain.


3.2  Saran
Mungkin inilah yang dapat saya sajikan dalam penulisan ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna. Masih banyak kesalahan dari penulisan makalah ini, karena saya adalah manusia tempat salah dan dosa. Dan saya juga membutuhkan saran/kritik agar bisa menjadi motivasi bagi saya untuk masa depan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah ini “SEJARAH KEBUDAYAAN MELAYU” Ibu Dra,Mardiah Mawar Kembaren,M.A.ph.D yang telah memberikan tugas ini demi kebaikan khususnya diri saya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Sinar,T.Lukman.2007.Mahkota Adat Dan Budaya Melayu Serdang. Perbaungan:Kesultanan serdang
A.Hamid,Rogayah. 2006. Kesultanan Melayu. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa Dan Pustaka

informan:
1.      Nama              : Hasanuddin NZ (bahyung)
Alamat           : jln Sultan Serdang, Perbaungan kab.Serdang Bedagai
Tanggal lahir : 14 September 1942
Umur              : 75 tahun
Pekerjaan       : PNS (pensiunan) pembina teater swarna production
2.      Nama              : Syahril
Alamat           : Kota Galuh
Tanggal Lahir: 14 agustus 1957
Pekerjaan       : wiraswasta




 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hikayat Si Miskin atau Hikayat Marakarma ( R.O Winstedt, 1922a: 41-45)

Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam (Hikayat Puspa Wiraja)

Hikayat Parang Punting