DINAMIKA KEHIDUPAN ORANG MELAYU

Mahasiswa/i sastra Melayu Universitas Sumatera Utara

 


    DINAMIKA KEHIDUPAN ORANG MELAYU
            Jika kita cermati selam dua dasawarsa ini, telah terjadi perkembangan dan kemajuan luar biasa di Asia Tenggara, dimana orang melayu hidup dan bertempat tinggal. Perubahan kearah kemajuan itu bukan saja pada aspek-aspek elementer, tetapi juga pada segi yang mendasar, seperti perubahan struktur dan basis-basis ekonomi, perubahan dalam komposisi penduduk yang bisa menikmati pendidikan tinggi dan managerial skill, serta perubahan ke arah semakin berakumulasinya sumber-sumber daya ekonomi pada kelompok etnis tertentu.
            Perubahan kuantitatif dan kualitatif tersebut, pada sisi lain tidak diikuti setidak-tidaknya dalam kasus Riau dan Indonesia- oleh perubahan dan kemajuan orang Melayu. Melayu seperti tidak bisa berpartisipasi dan memanfaatkan perubahan dan peluang-peluang yang tumbuh itu, bahkan sebaliknya cenderung semakin tergusur kepinggir (menjadi masyarakat marjinal). Ironisnya, ketergusuran itu terutama dari basis-basis ekonomi, semakin dirasakan sangat dahsyat karena kekuasaan politik ikut berperan di dalamnya.
            Ketertinggalan orang Melayu ini diperkirakan pada dasawarsa mendatang akan semakin meluas kalau tidak ada kebijaksanaan politik yang sedikit protektif terhadap mereka. Hal ini disebabkan seperti telah dikemukakan di atas, bahwa basis-basis ekonomi utama dan dominan berada dalam kendali orang luar. Sebagaimana “hukum besi” ekonomi, mereka yang memiliki sumber daya ekonomi cenderung sumber daya itu akan semakin berakumulasi. Sebaliknya mereka yang tidak mempunyai akan semaki8n tertinggal dan miskin. Kendala yang bersifat struktural iniakan semakin keras menggusur orang melayu kepinggir, karena akan bertemu dengan kendala-kendala struktural yang mengikat secara inheren dalam dirinya.
    
Hasil gambar untuk khas melayu

       Setuju atau tidak, fakta memperlihatkan bahwa memang ada kendala-kendala psikologis orang melayu untuk maju. Walaupun banyak bantahan terhadap apa yang disebut dengan mitos “pribumi malas”, namun dalam kadar tertentu tidak dapat kita pungkiri sepertinya orang melayu kurang gesit dan gigih dalam berjuang untuk maju dibandingkan etnis lain di Asia Tenggara.
            Kita setuju dengan pendapat bahwa sebelum kolonial datang orang Melayu sudah maju serta menjadi pedagang yag handal dan perantauan yang telah menjelajahi mancanegara. Tetapi, kenyataan sekarang ini, dumia orang Melayu tidak begitu menggembirakan. Orang Melayu masih bergelut kemiskinan, sementara orang lain telah semakin maju. Kenyataan pahit ini harus kita terima dengan lapang dada dan harus kita antisipasi dengan rasional.
            Pengantisipasiannya tidak bisa dilakukan lagi dengan akologi. Kita tidak bisa menutupi ketertinggalan kita dengan cara mengagungkan kebesaran dan kemajuan masa lampau. Antisipasi yang bersifat apologi yaitu bukan saja tidak rasional, melainkan juga tidak memecahkan inti permasalahan yang sebenarnya. Malahan jawaban seperti itu akan membuat kita akan semakin jauh tertinggal, sementara orang lain berorientasi kemasa depan.
            Kebesaran dan kemajuan yang pernah dijumpai orang melayu pada masa lampau seharusnya kita jadikan cambuk untuk mewujudkan hal yang sama dimasa depan.   
Dengan tidak menutup mata dan mengurangi rasa hormat terhadap usaha yang gemilang dari para pemimpin dan cendikiawan Melayu di Malaysia untuk meningkatkan derajat orang Melayu, pada sebagian besar cendikiawan melayu di Indonesian masih terdapat usaha pengantisipasian keterbelakangan itu dengan cara tidak rasional. Dimensi lainnya yang menyebabkan orang Melayu kurang tanggap terhadap peluang ekonomi dan kemajuan adalah kekeliruan dalam menginterpretasikan variabel utama yang mempengaruhi perilaku mereka, yaitu ajaran Islam. Sikap orang Melayu terhadap pembaharuan, ilmu pengetahuan dan cara menilai nasib dan takdir serta etos kerja, pada hakikatnya bersumber dari kekeliruan dalam menafsirkan ajaran-ajaran islam khususnya ayat-ayat al-quran tentang masalah-masalah tersebut.
Keadaan yang sama juga berlaku tentang pandangan terhadap ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat kita menilai, bahwa menuntut ilmu pengetahuan bagi anak-anaknya tidak begitu bermanfaat apalagi bagi anak perempuan. Keadaan tersebut semakin diperburuk oleh kondisi ekonomi mereka yang memang relatif miskin sehingga tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Barangkali yang perlu mendapat perhatian secara khusus adalah sikaf orang Melayu terhadap profesi pedagang. Selama dua dasawarsa terakhir ini sikap orang Melayu terhadap profesi perdagang mengalami sedikit saja perubahan. Namun perubahan pandangan tersebut belum begitu baik pengaruhnya terhadap populasi orang melayu yang menekuti berdagang sebagai profesinya. Padahal sebelum kolonialisme datang dan mencengkramkan kukunya secara dalam di Asia tenggara, orang melayu merupakan pedagang-pedagang yang berhasil dan mempunyai kantor-kantor dagang diberbagai kota dijalur perdagangan Internasional. Semakin mendalamnya kekuasaan dan pengaruh kolonialisme, posisi pedagang orang melayu ikut semakin sulit. Jadi, tidak dapat dibantah bahwa sikap orang melayu terhadap profesi dagang dan tergusurnya mereka dari pekerjaan tersebut merupakan pengaruh dan praktik kolonialisme sebagai penyebabnya yang terprnting.
Secara sederhana telah di ilustrasiakan aspek-aspek yang akan mempengaruhi orang melayu menghadapi masa depannya. Aspek-aspek itu, baik bersumber dari kondisi objektif psikologis pribadi dan kultural, maupun kendala-kendala struktural yang berasal di luar diri mereka. Keadaan tersebut telah banyak dipahami oleh para pemimpin dan cendikiawan melayu sendiri selama ini dan telah banyak pula solusi-solusi diajukan. Barang kali yang diperlukan adalah mempertegas kembali solusi-solusi yang pernah dipikirkan tersebut.
Orang Melayu dilihat dari berbagai aspek kehidupan saat ini relatif tertinggal dibandingkan suku lain di Asia Tenggara. Ketertinggalan tersebut diperkirakan dalam dasawarsa mendatang akan semakin meluas. Hal ini disebabkan sumber daya yang memungkinkan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang terbuka pada masa mendatang di luar kendali orang melayu. Kondisi tersebut tercipta bersumber, baik dari sifat mental dan tingkat achiavement  (mikro) maupun kendala struktural yang berakar dari sejarah masa lampau.
Cindikiawan dan pemimpin Melayu  menyadari kondisi-kondisi tersebut diatas dan telah mengemukakan berbagai alternatif pemecahnya. Akan tetapi, solusi yang diajukan selalu bersifat apologia sehingga tidak pernah tuntas dan menjawab inti permasalahannya. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, terutama dikaitkan dengan kemampuan untuk merebut peluan dan kesempatan yang ada pada masa depan serta menghadapi globalisasi dan liberalisasi, perlu diambil berbagai langkah.
 Pertama, kecenderungan untuk mencari pemecahan masalah yang bersifat apologia harus dihentikan. Kedua, reinterpretasi terhadap variabel-variabel budaya, agama, dan fungsi pendidikan. Ketiga, menumbuhkan achievement motivation untuk berkembang suburnya enterpreneurship yang sesungguhnya dan dilakukan sedini mungkin. Keempat, meninjau kembali sistem pendidikan yang ada mampu mendongkrak ketertinggalan. Kelima, kemitraan yang sedang digalakkan psemerintah antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil dan koperasi perlu didukung semua pihak, supaya kesenjangan yang cenderung meningkat dapat diperkecil dan sedapat-dapatnya dihilangkan, sehingga terwujud kesejahteraan yang merata dan adil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hikayat Si Miskin atau Hikayat Marakarma ( R.O Winstedt, 1922a: 41-45)

Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam (Hikayat Puspa Wiraja)

Hikayat Parang Punting